Wednesday, September 3, 2008

Dalam Kebisuan Aku Berprestasi


Di tengah perlombaan tiba-tiba ia berhenti berlari. Tengok kanan kiri. Ia kemudian mendengar teriakan “Ayo lari”. Bergegas ia meneruskan kembali larinya. Tentrem, anak tuna grahita ini sedang mengikuti lomba lari.

Sabtu 07 Juni 2008 pukul 06.30 WIB. Suasana pagi itu terasa cerah. Matahari bersinar cukup terang. Dari salah satu rumah di Karangpoh yang kondisinya sudah tidak kokoh lagi tampak ada aktivitas. Rumah itu berada tepat di perempatan jalan. Kepulan asap tampak dari belakang rumah, asap dari tungku.

Tak berapa lama, dari rumah itu keluar dua orang. Seorang anak laki-laki dan perempuan. Keduanya mengenakan seragam pramuka. Warna cokelat seragam yang di kenakannya sudah terlihat pudar. Raut wajah keduanya terlihat begitu segar. Keduanya tampak begitu semangat. Sesekali tersungging senyum dari bibir mereka.

Dengan menenteng sebuah tas berwarna hitam, anak perempuan itu mulai berjalan. Sepatu hitam yang tadinya menapaki tanah merah di depan rumah beralih menapaki jalan beralas semen. Jalan ini membentang sepanjang Karangpoh. Di salah satu sudut jalan itu tergores tulisan 1998. Sebuah goresan yang menandakan tahun dibangunnya jalan itu.

Anak perempuan itu terus saja berjalan. Tak ada percakapan sedikitpun dengan anak di sampingnya. Pandangannya lurus menatap jalan. Sepatu hitamnya beralih menginjak jalan berbatu. Jalan bersemen hanya melapisi tanah merah sepanjang satu kilometer dari rumah anak perempuan itu. Selebihnya jalan berbatu yang harus dilewati.

Ia masih saja berjalan. Dua puluh menit telah dilalui. Sesekali tangan si anak memainkan rambut pendeknya. Sesekali pula tangannya memetik dedaunan dari pohon yang dilewatinya. Lingkungan Karangpoh memang masih asri. Pohon-pohon yang tumbuh di sana cukup banyak. Sebagian besar adalah pohon jati.

Tepat pukul 07.00 WIB, si anak perempuan memasuki gerbang besi berwarna perak. Di sana terdapat ukiran besi yang bertuliskan Sekolah Luar Biasa (SLB) Darma Putra. Akhirnya, ia menginjakkan kaki di sekolahnya. Lalu, ia berjalan menuju pohon mangga dan duduk di bawahnya. Menunggu bel masuk berbunyi. Hanya sendirian saja.


***

Anak perempuan itu bernama Tentrem. Sangat singkat. Namun perjalanan hidup yang dialaminya tak sesingkat namanya. Dalam diri Tentrem mengalir trah Karangpoh yang diwariskan Sonto Sentiko. Ia lahir dari rahim seorang ibu yang menderita keterbelakangan mental. Damiyem namanya. Giyono adalah ayahnya. Keterbelakangan mental ini harus dideritanya sejak lahir. Tiga dari empat saudara kandungnya juga mengalami hal yang serupa.

Sehari sebelumnya Tentrem baru saja menjadi juara dua lomba lari SLB tingkat kabupaten. Lomba lari diadakan di SLB Negeri 1 Wonosari, Gunung Kidul. Diantar oleh Bu Ning, guru SLB nya, dan beberapa guru lain, Tentrem dan beberapa temannya mengikuti lomba ini.

Matanya lurus menatap ke lintasan lari. Raut wajahnya mengobarkan semangat berapi-api. Sesekali kedua tangannya mengepal. Di samping kanan kirinya telah berdiri beberapa lawannya.

Priiittt….., wasit pertandingan meniup peluitnya. Pertandingan lari dimulai. Tentrem mulai berlari. Sesekali Tentrem berhenti. Kepalanya menengok ke berbagai arah. Kadang menengok ke arah penonton. Beberapa kali pula dia menengok ke arah para guru SLB Darma Putra yang mendampinginya.

“Ayo lari!” teriak beberapa guru SLB Darma Putra. Guru SLB lainnya juga turut berteriak, tak mau kalah memberikan semangat kepada siswanya. Suasana pun menjadi ramai dipenuhi suara guru SLB.

Suara dari para guru memang sangat diperlukan. Lomba lari ini berbeda dari yang biasanya. Pada perlombaan lari ini, para peserta sesekali berhenti. Kemudian lari lagi. Berhenti. Lari lagi beberapa saat kemudian. Selalu seperti itu.

Saat kondisi seperti itu peran guru pendamping lomba sangat penting. Dengan keterbatasan kemampuan berpikir para peserta, teriakan dari para guru akan merangsang peserta untuk kembali berlari.

“Jangan nunggu lawannya. Lari saja terus,” teriakan itu terdengar dengan jelas oleh Tentrem. Ia kembali berlari. Keringat terlihat membasahi baju larinya. Dari dahinya beberapa peluh menetes.

Tentrem masih saja berlari. Dari belakang muncul seorang peserta lain yang menyalipnya. Tiba-tiba Tentrem berhenti berlari. Teriakan ayo lari, jangan berhenti, kembali membuat Tentrem berlari.

Cukup jauh jarak antara Tentrem dengan lawan di depannya. Ia mempercepat lari. Keringat semakin membasahi kaos olahraganya. Kini jarak sudah tak terpaut jauh, hanya tinggal beberapa pijakan saja. Garis finish tampak semakin dekat. Jarak 100 meter sudah hampir diselesaikan. Tentrem masih berusaha keras menyalip lawannya yang hanya tinggal beberapa langkah di depan.

Keringat semakin deras mengucur. Namun lawan di depan sudah menyentuh garis finish. Padahal jarak Tentrem hanya terpaut satu langkah dari sang lawan. Tentrem akhirnya harus puas menjadi juara dua, padahal tahun lalu Tentrem berhasil menyabet juara pertama. Dengan keringat yang bercucuran terlihat jelas raut wajah kecewa dari mukanya.


***

Minggu pagi itu tanggal 08 Juni 2008, dari rerimbunan pohon jati di belakang rumah Tentrem terdengar suara burung. Di sebelah rumah tampak sosok Tentrem sedang memetik daun ketela. Ia ditemani oleh Mbok Darmo. Baju yang dikenakan Tentrem masih sama dengan yang dikenakannya tadi malam, kaos merah dan rok biru.

Tentrem baru bisa membantu memasak dan mencuci piring setahun belakangan ini. Sebelumnya anak perempuan yang memiliki tahi lalat di lehernya ini tidak bisa melakukan itu. Perlu kesabaran yang lebih untuk mengajarkan memasak dan mencuci kepada Tentrem karena temperamennya yang cukup tinggi. Mbah Lompong pernah sekali menasehatinya. Bukannya mengikuti nasihat yang diberikan, Tentrem justru kabur dari rumah. “Nggih ngoten, Mas, nek ajeng nasehati bocah keterbelakangan mental kuwi kudu ngati-ati. Mboten purun banter-banter ( Ya, begitu mas, kalo ingin menasihati anak keterbelakangan mental harus hati-hati. Tidak boleh terlalu keras),” cerita Mbah Lompong sambil sesekali memainkan frame kacamata plusnya.

Selain membantu Mbok Darmo, Tentrem biasanya juga bekerja di sawah. Aktivitas itu dilakoninya selepas pulang sekolah. Merumput adalah hal yang paling kerap dilakukannya di sawah, terlebih saat musim panen padi.

Tentrem baru saja lulus Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). “Di sekolah ia tergolong siswa yang pendiam. Jarang terlihat dia bercakap dengan temannya,” ungkap Pak Darno selaku guru kelasnya.

Di lingkungan rumahnya pun Tentrem jarang berinteraksi. Dia hanya mau berinteraksi dengan kedua orang tuanya. Itu pun hanya seperlunya saja, selebihnya Tentrem hanya membisu. Bahkan ayahnya pun tidak tahu jika Tentrem menjuarai lomba lari. “Saya justru tidak tahu kalau Tentrem itu juara lari. Kemarin Tentrem cuma bilang kalau mau berangkat lomba,” ujar lelaki yang hampir seluruh rambutnya berwarna putih. Bahkan di lingkungan rumahnya tak banyak yang tahu bahwa Tentrem adalah juara lari.

“Yah, memang disayangkan jika orang lain tidak mengetahui potensi yang dipunyai oleh anak keterbelakangan mental,” terang bu Tarti selaku humas SLB Dharma Putra. Menurut Bu Tarti, seharusnya potensi anak-anak keterbelakangan mental harus diketahui oleh orang lain. Dengan begitu maka akan diketahui pembelajaran atau pembinaan yang tepat buat si anak.

Pukul sepuluh pagi. Dari rumah di perempatan jalan itu kembali keluar sosok si anak perempuan. Kali ini dia hanya sendiri. Tangannya yang sebelah kanan kini membawa sebuah arit (alat untuk merumput). Tentrem akan berangkat ke sawah, menunaikan tugas seperti biasanya.

Friday, April 4, 2008

Lawu part II

Secercah sinar mentari menembus ke dalam tenda. Sinar itu tepat mengenai wajah saya. Saya pun menarik ke atas sleeping bag saya. Wajah saya cukup tertutupi. Namun saya tidak bisa tidur kembali. Sinar mentari menganggu tidur saya.

Saya kemudian meraba sebelah kanan saya. Mencari sebuah mobile phone. Setelah beberapa saat meraba, mobile phone pun saya temukan. Saya hidupkan mobile phone itu sambil berharap ada sinyal yang sudi mampir di mobile phone saya. Setelah menunggu beberapa saat, ternyata tetap saja seperti kemarin. Tidak ada sinyal!

Saya pun melihat jam di mobile phone saya. Pukul 07.00 WIB. Sudah cukup siang pikirku. Saya kemudian memutuskan untuk segera keluar dari sleeping bag. Cukup dingin juga ternyata. Walaupun tentu saja tidak sedingin semalam. Kawan saya masih lelap dalam tidurnya. Saya putuskan untuk membangunkannya.

Usai membangunkan kawan saya, saya pun keluar dari tenda. Suasana Lawu cukup cerah pagi itu. Udara terasa begitu segar. Berbeda dengan di Jogja. Kalau sudah jam 06.00 ke atas, langit Jogja sudah dipenuhi oleh asap-asap kendaraan bermotor. Sisa-sisa embun yang masih tersisa di ujung-ujung daun dan rerumputan semakin menambah segar pagi itu.

Kawan-kawan dari Tangerang ternyata sudah bangun lebih awal dari kami. Mereka memasak sarapan dan merebus air. "Dah bangun mas?mau kopi gak?" tanya Aka sambil mengacungkan segelas kopi ke arahku. "Ntar aja," balasku sambil tersenyum.

Tak berapa lama kawan saya menyusul ke luar tenda. Segera dia merebus air. Saya pun menghampirinya. Sebatang rokok saya nyalakan. Rokok pertamaku hari ini. Sambil merebus air dan merokok kami bercakap-cakap untuk merancang planning hari ini. Ternyata kawan saya tidak akan naik ke puncak. Badannya agak tidak enak. Akhirnya nanti hanya saya saja yang naik ke puncak. Dia hanya menunggu di basecamp.

Air yang direbus sudah matang. Kami membuat kopi. Cukup untuk menahan dingin. Tepat pukul 08.00 saya bersiap berangkat menuju puncak. Di punggung saya tergendong sebuah tas punggung berukuran medium. Setengah botol air mineral, tiga batang rokok, mantel, senter dan 3 helai roti tawar saya masukkan ke tas punggung.

Setelah berpamitan dengan kawan saya yang menunggu di pos tiga, saya segera saja memulai perjalanan. Saya berangkat bersama rombongan dari Tangerang. Ada empat orang yang berangkat bersama saya. Mereka begitu bersemangat. Berbeda dengan saya yang tidak sempat sarapan. Energi saya seakan hanya 50 persen saja. Tapi dalam benak saya, tersugesti bahwa siang hari puncak sudah harus berhasil saya capai. Baru setengah perjalanan dari pos tiga ke pos empat saya sudah kelelahan. Rasa capek semalam dan rasa lapar bersamaan saya rasakan.

Saya memutuskan beristirahat sejenak. Empat kawan dari Tangerang memutuskan berangkat meninggalkan saya. Saya hanya sempat berpesan,"kita ketemu di puncak". Kami sempat bersalaman sebelum berpisah.

Saya beristirahat sekitar sepuluh menitan. Bekal yang saya bawa sama sekali tak saya sentuh. Dalam hati saya berkata bahwa bekal baru boleh disentuh apabila saya sudah mencapai Sendang Derajat (pos lima). Sekitar satu setengah kilo perjalanan lagi yang harus saya tempuh sebelum mencapai Sendang Derajat. Saya menatap ke arah atas. Puncak masih tertutup sebuah bukit yang menjulang. Saya baru bisa melihat puncak bila sudah melewati bukit itu.

Diperistirahat saya, ada beberapa rombongan yang mendahului saya. Rombongan pertama dari kehutanan UGM. kedua dari Solo dan terakhir dari Semarang. Mereka sempat menyapa saya. Sebuah sapaan yang khas dari para pecinta alam terucap dari mulut mereka.

Cukup istirahatnya pikirku. Saya mulai berjalan lagi. Sendirian saja saya berjalan. Tak ada kawan bercakap. Baru kali ini saya merasakan betapa sepinya perjalanan saya menuju puncak. Saya mulai menapaki jalan berbatu setapak demi setapak. Jalan didepan saya tampak begitu menjulang angkuhnya. Kesepian di perjalanan membuat waktu terasa begitu lama. Satu persatu bayangan orang2 dekat saya mulai bermunculan. Keluarga, kawan seperjuangan, mantan cewek, hingga sosok gadis yang saat ini saya taksir silih berganti dalam memori saya.

Perjalanan sunyi masih saja saya rasakan. Rasa lapar dan capek mulai saya lupakan. Memori saya hanya di penuhi kesepian. Rasa kecewa dan menyesal pun sempat begitu menyeruak di benak saya. Menyesal dan kecewa pada seseorang yang tak kunjung juga memberi saya harapan.

Sialan!Sialan!Sialan!

Begitu pikir jika saya mengingat sosok itu. Saya coba lagi memantapkan niat saya untuk mencapai puncak. Setelah berjalan dalam kesepian selama satu setengah jam akhirnya saya sampai juga di Sendang Derajat. Disana beberapa kawan menyambut saya dengan antusias.

Saya beristirahat sejenak di Sendang derajat. Beberapa kawan yang mendahului saya ternyata juga beristirahat di sini. Ada beberapa tenda yang masih berdiri. Cukup ramai juga suasana di sini. Kesepian seakan sirna dalam benak saya.

Pos lima ini dinamakan Sendang Derajat karena memang ada sebuah sendang di dekat pos ini. Sendang kecil namun berair jernih. Saya sempat mencicipi air Sendang ini. Cukup segar juga airnya.

Sebatang rokok saya nyalakan sambil mengobrol dengan kawan-kawan baru saya. Tepat seperti janji saya ketika akan berangkat tadi. Setelah cukup beristirahat saya lanjutkan perjalanan. Puncak sudah dekat. Jalanannya pun tidak terlalu terjal lagi. Hanya ada satu tanjakan yang harus dilewati.

Kali ini saya tidak berangkat sendiri. Saya bersama kawan-kawan dari kehutanan UGM. Ketiga kawan saya ini naek ke lawu dalam rangka penelitian vegetasi di Lawu.

Tepat pukul 10.30 WIB saya berhasil mencium sebuah tugu. Sebuah tugu yang terbuat dari campuran semen, pasir dan kerikil. Sebuah tugu yang hanya berbentuk persegi panjang yang berdiri. Sebuah tugu yang bertuliskan Lawu 3225 mdpl. Sebuah tugu yang bertinggi sekitar 150an cm. Tugu itu selalu diharap oleh para pendaki gunung Lawu.

Begitu mencium tugu penanda puncak lawu, semua dendam saya pada Lawu terhapuskan. Bayang-bayang badai, angin kencang, hujan lebat, kabut, hawa dingin, rasa lelah dan putus asa sirna begitu saja. Sosok gadis yang masih saya tunggu hingga saat ini pun lenyap begitu saja. Hanya rasa syukur dan lega yang saya rasakan saat itu.

Sebatang rokok saya nyalakan untuk menuntaskan janji saya. Rokok kedua yang saya punya. Saya hisap rokok itu dalam-dalam. Dari puncak tampak begitu jelas pemandangan daerah Jawa Tengah. Sebuah lukisan pemandangan yang begitu sempurna. Saya pun mencoba duduk di atas tugu puncak lawu. Agak lama saya duduk di situ.

Rokok yang saya hisap sudah habis. Saya lalu menyalakan sebatang rokok lagi. Rokok terakhir yang saya punya. Cukup lama saya berada di puncak lawu. kawan-kawan dari UGM masih sibuk dengan penelitiannya.

Mobilephone saya keluarkan dari tas ransel saya. Saya mencoba memastikan apakah ada sinyal di sini. Namun tetap saja sinyakl tank kunjung hadir di mobilephone saya. jam di mobilephone menunjukkan pukul 12.45 WIB. Saya putuskan untuk turun. Kawan-kawan dari UGM masih saja sibuk dengan penelitiannya. Saya putuskan untuk turun sendirian. Setelah berpamitan saya pun melangkahkan kaki menuruni Lawu.

Lagi-lagi saya berjalan sendirian. Perjalanan memang sudah tidak seberat saat ingin menuju puncak. Di perjalanan ini saya melangkahkan kaki dengan santai. Sesekali saya bertemu dengan pendaki yang sedang beristirahat. Beberapa kali pula saya berpapasan dengan para pendaki yang sedang menuju puncak. Namun perjalanan saya turun lebih banyak bertenu dengan rasa sepi. Kembali lagi pikiran saya tak karuan. Beberapa memori dalam otak seakan muncul dan berlarian begitu saja. Sesosok gadis yang saya nanti lagi-lagi begitu mendominasi memori saya.

Sunyi masih saja menemani saya. Kadang sunyi memang kawan yang baik. Namun kadang pula sunyi begitu menyebalkan dan membosankan. Tepat pukul 14.15 saya mencapai pos tiga. Kawan saya menyambut dengan antusias. "Gimana puncak?" tanyanya sambil menghisap rokok. "Baik," jawabku.

Saya pun merebahkan diri di dalam tenda. Sebatang rokok kembali saya nyalakan. "Uh,rokok terakhirku hari ini," kataku dalam hati. Kawan saya sedang sibuk menyiapkan makan. Entah itu makan siang ato sarapan. Semenjak tadi pagi saya memang belum sarapan. Bekal yang dimasak adalah bekal terakhir hari ini. Hanya dua bungkus mie goreng dan secangkir teh.

Mendung mulai menggelayut di langit. Angin pun berhembus semakin kencang. Tanda hujan akan turun semakin menguat. Kami pun memutuskan untuk segera packing dan turun ke basecamp.

Packing selesai tepat pukul 16.00 WIB. Kami pun segera melangkahkan kaki menuruni lawu. Kali ini perjalanan tak terlalu sepi lagi. Ada kawan mengobrol. Sebuah tas ransel yang bermuatan sekitar 18 kg kembali saya bawa. Gerimis mulai turun.

Kami masih saja melangkah. Ada satu kesamaan di antara kami. Dalam perjalanan ini kami begitu kangen pada Jogja. Kangen pada sesosok gadis pujaan kami masing-masing. Hanya satu perbedaan. Jika kawan saya sudah jelas ada yang menunggu untuk bertemu di Jogja, saya tidak. Rasa kangen yang sia-sia.

Gerimis perlahan menjadi deras. Sesekali angin kencang berhembus. Langit pun semakin gelap. Padahal baru pukul 17.30 WIB. Kami memutuskan untuk menyalakan senter. Tepat pukul 18.20 WIB kami tiba di basecamp. Beberapa kawan sudah menyambut di sana. Dua gelas kopi hangat mereka sodorkan untuk kami. Tak lupa pula camilan ala kadarnya. Saya memutuskan untukl duduk di pojokan basecamp. Sambil sesekali menyeruput kopi hangat kami pun mengobrol.

Saya coba hidupkan lagi mobilephone saya. Masih saja tak ada sinyal. Setelah cukup melepas lelah, kami memutuskan segera kembali ke Jogja. sebenarnya kami ingin menginap lagi semalam di basecamp. Namun bekal yang habis dan persedian uang yang minim memaksa kami segera pulang. Uang yang ada di kantong kami tinggal 5000 rupiah saja. Hanya cukup untuk beli bensin pulang. Itu pun masih kurang.

Adzan Isya sayup-sayup terdengar dari pemukiman warga terdekat. Sekitar dua kilometer dari basecamp. tepat pukul 19.20 kami berangkat menuju Jogja. Setelah berpamitan dengan kawan-kawan yang ada di basecamp kami pun berangkat. Kali ini kawan saya kembali yang mengemudi. Masih dengan perjanjian yang sama ketika kami berangkat dari Jogja. begitu tiba di kota, kami akan bertukar posisi. Sekitar dua kiloan perjalanan, saya kembali menghidupkan mobilephone. kali ini sudah ada sinyal. Saya pun mengirimkan sebuah pesan ke beberapa kawan. Saya kabarkan kondisi saya saat ini, dan juga kabar bahwa puncak sudah berhasil saya rengkuh.

Tentu saja tak lupa saya mengirimkan sebuah pesan kepada gadis yang saya nanti. Walaupun saya tau belum tentu dia akan membalasnya. Pesan pendek itu berisi " aq dah nyampe puncak dengan selamat. Sekarang lagi perjalanan pulang ke jogja.

Perjalanan begitu tenang. Masing-masing dari kami sama-sama kelelahan. Motor pun dipacu sekencang-kencangnya dengan harapan segera tiba di Jogja.

Pukul 21.30 kami tiba di Jogja. Tepat ketika kami tiba di Jogja sebuah pesan pendek masuk ke mobilephoneku. "o, yaudh kl dah nyampe puncak dengan selamat. Hati-hati di jalan mas. Ntr lgsng istirahat aja mas." begitu isi pesannya. Sebuah pesan balasan dari gadis yang kunanti.

Saya pun membalas pesan itu. "ini baru aja nyampe rumah. Iya ini jg mau istrht."

Wednesday, March 26, 2008

Lawu part I

Minggu ketiga di bulan Maret ini ada libur yang cukup lama. Sekitar empat hari kuliahku libur. Kala itu bosan, capek, bingung, puyeng menjadi satu kesatuan di pikiranku. "Butuh refreshing nech," kataku dalam hati. Saya mencoba merumuskan tempat-tempat mana yang akan saya gunakan untuk refreshing selama emapat hari. Ada beberapa opsi dalam benak saya. Kemping di Puncak Suroloyo ato kali Kuning, mancing di Waduk Sermo, putar-putar kota Jogja ato mencium puncak Gunung Lawu. Akhirnya saya memutuskan untuk mencium puncak Lawu.

Saya pun mengajak beberapa kawan dekat saya. Pertama kali yang saya ajak adalah kawan sekelas saya di kampus. Kawan sekelas saya ini memang sangat suka naik gunung. Kemudian saya mengajak juga bekas partner kerja saya sewaktu mengerjakan EXPEDISI. Tak ketinggalan saya mengajak seorang kawan kuliah dari Jakarta.

Ketiga kawan yang saya ajak tadi menyatakan kesediaannya. "Ayo berangkat." jawab mereka. Akhirnya saya dan seorang kawan menyusun jadwal keberangkatan kami ke Gunung Lawu. Awalnya kami memutuskan untuk berangkat hari Kamis tanggal 20 Maret 2008. Namun karena mepetnya persiapan dan juga ada kesalahan packing maka keberangkatan ditunda sehari berikutnya.

Ternyata penundaan sehari itu menyebabkan dua kawan yang lain tidak bisa ikut. Mereka ragu-ragu jika hari Sabtu malam mereka belum di Jogja. Kedua kawan saya ini ternyata ada agenda untuk mengisi diklat jurnalistik di kulon Progo pada Hari Minggunya. Akhirnya hanya saya dan seorang kawan yang berangkat untuk mencium puncak Lawu.

Setelah selesai mengecek perlengkapan dan bekal yang akan di bawa, kami memutuskan untuk segera berangkat. Kami berangkat pada tanggal 21 Maret 2008 saat dentang pukul menunjuk angka 10.45 WIB. Kami berangkat dari rumah saya menggunakan sebuah sepeda motor butut. Sebuah motor berkopling dengan tahun pembuatan 1992. Motor ini sempat saya gunakan untuk kuliah selama hampir satu tahun lebih.

Kami berangkat berboncengan. Saya yang mengemudikan motor dan akan berganti pengemudi apabilasudah mencapai daerah Tawangmangu. Kami berangkat sambil membawa dua tas gunung. Satu berwarna hitam dengan merk avtech dan yang satunya olagi sebuah tas gunung bermerk carvan warna biru tua. Tas hitam berbobot sekitar 6 kiloan.Sedangkan satunya lagi tas carvan biru berbobot sekitar 17 kiloan. Cukup berat memang.

Dalam perjalanan Jogja-Lawu kami sempat tiga kali berhenti. Pertama kami berhenti di POM bensin di daerah Klaten. Kedua kami berhenti di sebuah masjid di daerah Palur, Karanganyar. Berhenti yang kedua ini karena kami melakukan jumatan dimasjid itu.

Selesai Jumatan kami pun melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 13.30 WIB kami berhenti di Pasar Tawangmangu. kami berbelanja bekal makanan dan juga makan siang di sebuah warung kaki lima. Warung itu berada tepat di depan pos ojek pasar Tawangmangu. Saat itu saya memesan tempe penyet dan kawan saya memesan lele goreng.

Di warung kaki lima ini kami berkenalan dengan Pak Budi. Pak Budi juga akan mendaki Lawu. Bapak yang mempunya kumis ini berdomisili di Semarang. "Mau naek dari cemoro sewu atau cemoro kandang mas?" tanya Pak Budi sambil menyalakan rokok kreteknya. :Cemoro Sewu pak," jawabku sambil mengunyah tempe penyet pesananku. "Rombongan atau sendiri pak naeknya?" tanya kawanku. "Rombongan mas, 13 orang satu rombongan," jawab Pak Budi sambil menghembuskan asap rokoknya.

Setelah bercakap ala kadarnya, kami pun berpamitan dengan Pak Budi. "Kita tunggu di Cemoro Sewu mas," ucap Pak Budi sambil menjabat tangan kami bergantian. "OK pak,"jawabku sambil tersenyum.

Selesai berpamitan, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini kami harus melewati jalan yang menanjak. Perjalanan kami pun akan melintasi Propinsi Jawa Tengah dan akan menuju Jawa Timur. Sebab Cemoro Sewu berada di Magetan, Jawa Timur. Jarak antara tugu perbatasan dengan Cemoro Sewu hanya sekitar 200 meteran saja. Sehingga tak heran apabila Gunung Lawu dibagi menjadi dua kepemilikan. Separuh masuk Jawa Tengah dan separuhnya lagi masuk Jawa Timur.

Tepat saat jam di mobile phone saya menunjukkan pukul 15.30 kami tiba di Cemoro Sewu. Untuk mencapai Cemoro Sewu tidak mudah bagi kami. Karena sebelumnya, kami sempat kehabisan bensin ditanjakkan yang cukup tinggi. Kami pun terpaksa harus mendorong motor untuk mencari penjual bensin. "Lumayan pemanasan," sahutku dengan agak kesal.

Setelah berjalan sekitar 100 meteran, kami pun mendapat bensin. Perjalanan kami teruskan. Kali ini kami disambut oleh hujan deras dan angin kencang. "Kayaknya bakalan apes nech,"ujar kawan saya. "Yakin aja," jawabku sambil bersembunyi di balik mantol.

Akhirnya kami tiba di basecamp pendakian cemoro sewu. Basecamp ini bercatkan warna biru pada temboknya. Kami pun buru-buru memasuki basecamp. Karena hujan semakin deras. Begitu masuk ke basecamp kami pun segera menutup pintu basecamp yang berwarna hijau tua. Di dalam basecamp ada tiga ruangan. Ruang pertama adalah ruangan tamu. Disana terhampar beberapa lembar tikar. Ruangan ini biasanya digunakan oleh para pendaki untuk beristirahat. Entah itu pendaki yang baru turun dari Gunung Lawu maupun yang akan mendaki Gunung Lawu.

Di ruangan ini kami sempat berkenalan dengan beberapa rombongan. Ada empat rombongan saat itu. Rombongan pertama dari Solo. Ada sepuluh orang dalam rombongan ini. Mereka baru saja turun dari Gunung Lawu siang tadi. Rombongan kedua dari Jakarta. Rombongan ini beranggotakan empat orang. Mereka pun juga baru saja turun dari Gunung Lawu tadi siang. Rombongan ketiga dari Surabaya. Mereka akan mendaki besok pagi. Rombongan ini beranggotakan empat orang. Sedangkan rombongan terakhir adalah rombongan kami.

Ruangan kedua adalah Rescue Room. Ruangan ini tidak bisa dimasuki sembarangan orang. hanya tim Rescue Gunung Lawu saja yang bisa masuk. Lalu ruangan terakhir adalah ruang gudang milik tim Rescue.

Tepat jam 16.00 kami memutuskan untuk memulai pendakian. Sebelumnya kami harus membayar retribusi sebesar Rp.5000,00 per orang. Kami pun harus registrasi dahulu. Kami ditanya kapan akan turun oleh seorang petugas yang mengenakan seragam coklat. "Sabtu malam pak,"jawabku sambil menyerahkan uang kertas bernominal Rp.10.000,00. Perjalanan kami lanjutkan setelah tiket retribusi berwarna putih dengan label "Retribusi Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur" kami peroleh.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Kami berjalan diiringi oleh hujan yang cukup deras. Angin kencang juga tak mau ketinggalan untuk menemani kami. Setelah melewati area camping ground, hujan semakin deras. Mantol yang kami kenakan tidak sanggup menahan derasnya hujan. Pakaian yang kami kenakan di balik mantol lambat laun menjadi basah. "Gak ada bedanya pake mantol ama enggak," keluh kawanku.

Setelah satu jam berjalan kami melewati lahan milik penduduk. Penduduk disini menanami lahan dengan tanaman wortel dan bawang merah. Saat berjalan kami sempat berpapasan dengan beberapa penduduk. Mereka umumnya menggotong rumput "kolonjono" untuk makan ternak. "monggo pak," sapa kami tiap kali berpapasan dengan penduduk. Monggo dhek,ngatos-ngatos njih munggahe," jawab mereka.

Hujan masih saja belum berhenti. Hawa dingin pun semakin kami rasakan. Kami masih saja terus berjalan. Tepat saat magrib, kami tiba di pos satu. Dari base camp ke pos satu jaraknya sekitar satu kiloan. Kami beristirahat sejenak sembari menyalakan rokok. Lumayan agak menghangatkan pikirku. Ini adalah rokok keempat yang aku hisap hari ini. Kurang dua batang lagi pikirku. Hari ini saya membatasi diri agar hanya merokok paling maksimal 6-7 batang saja.

Setelah separuh batang aku hisap, kami pun melanjutkan lagi perjalanan. Aku benar-benar tidak bisa menikmati perjalanan kali ini. Kami berjalan perlahan. Tas gunung yang aku gendong semakin berat saja. Aku merasa tas ini bebannya bertambah sekitar dua kiloan. Terkena air hujanlah yang menyebabkan beban tas bertambah.

Beban hampir 20 kiloan yang ada dipunggung cukup menguras tenagaku. Nafasku sedikit terengah-engah. Komplit sudah hari ini. Hujan, angin, hawa dingin dan beban berat menjadi satu. Tapi kami masih saja berjalan. Dari pos satu ke pos dua kami harus berjalan hampir dua kiloan meter. Jalan yang dilewati pun mulai terjal dan licin. Cukup melelahkan.

Kami tiba di pos dua tepat pukul 20.00 WIB. Untuk mencapai pos dua ini kami harus menembus pekatnya malam. Kabut juga turut menghalangi pandangan kami. Senter yang kami bawa cukup membantu kami. Di pos ini sudah ada empat tenda yang sudah berdiri. Tiga berwarna biru putih dan yang satu klagi berwarna merah. Di pos ini kami sempat beristirahat sekitar lima menitan. kawan saya beristirahat sambil menyalakan sebatang rokok. Sedangkan saya hanya duduk saja. Saya sudah memutuskan untuk merokok lagi jika tenda kami sudah didirikan.

Di waktu beristirahat ini, kami sempat berunding. Terus melanjutkan perjalanan ke pos tiga atau mendirikan tenda di pos dua. Akhirnya kami mensepakati untuk melanjutkan perjalanan.

Jarak pos dua ke pos tiga sekitar 800 meteran. Namun jalannya sangat menanjak. Tak ada jalan turun ataupun datarnya. Habis rokok yang dihisap kawan saya, kami pun berjalan lagi. Kali ini kami berjalan bersama dengan rombongan dari Semarang. Rombongannya Pak Budi ternyata. Kami pun sempat bercakap dan berjabat tangan dengan Pak Budi.

Hujan semakin deras saja. Dinginpun semakin menusuk ke tulang-tulangku. Diiringi nyala lampu senter, kami pun menembus kegelapan Gunung Lawu. Nafasku semakin terengah-engah. Tas gunung di punggung semakin bertambah berat saja. Jalan pun kian menanjak. Jalan ini merupakan trek terberat di Gunung Lawu.

Kami berjalan sangat pelan sekali. Tenaga kami terforsir habis-habisan. Sesekali kami terpaksa beristirahat sejenak. Dinginnya Lawu semakin menjadi-jadi. Perut lapar dan kehabisan tenaga menyerang kami. Dalam benak saya hanya ada segera dirikan tenda, memasak dan makan.

21.15 WIB, begitu angka yang tertera di mobile phone ku. Akhirnya kami tiba di pos tiga. Di pos tiga kami bertemu dengan rombongan dari Tangerang. mereka sudah lebih dulu tiba di pos tiga. Saat kami temui, mereka sedang memasak makan malam. Segera saja kami mendirikan tenda.

Untuk mendirikan tenda kami tak butuh waktu lama. Sekitar 5 menitan sebuah tenda berwarna putih dengan perpaduan merah telah berdiri. Tenda bermerk Everest ini sebenarnya berkapasitas untuk 6 orang. Begitu tenda berdiri kami segera memasukkan barang-barang kami ke dalam tenda.

Selesai memasukkan barang, kami segera merebus air. Sebuah kompor dikeluarkan oleh kawan saya. Kompor ini sangat sederhana. Boleh juga dibilang sangat primitif. Kompor ini hanya sebuah kaleng minuman yang kami potong menjadi dua. lalu kompor itu kami isi dengan spiritus. Dan beralih fungsilah kaleng minuman menjadi sebuah kompor.

Sambil menunggu air matang, kami pun mengganti pakaian. Maklum pakaian kami basah kuyup terkena derasnya ait hujan. Sebuah kaos hitam dan celana pendek pun saya kenakan.

Air pun segera mendidih. Kami pun membuat kopi panas. Namun tak perlu menunggu lama untuk mendinginkan kopi sehingga bisa segera diminum. hawa dingin cukup membantu mendinginkan kopi buatan kami. Segera saja saya seduh kopi itu. Sejenak kemudian badan saya merasa cukup hangat. Sebatang rokok pun saya nyalakan untuk menemani minum kopi. Rokok kelima hari ini.

Setelah agak hangat kawan saya pun segera memasak makan malam. Mie goreng, menu makan malam kami. Selesai makan, kawan saya merebus air lagi. Kali ini kami membuat jahe hangat. jahe hangat cukup membantu melawan hawa dingin di Gunung Lawu. Sambil minum jahe kami bercakap-cakap sembari diiringi canda tawa.

23.00 WIB jam di mobile phone saya. Mobile phone saya kali ini hanya bisa berfungsi sebagai penunjuk waktu. Tidak ada sinyal di mobile phone saya. Rasa kantuk dan lelah mulai menyerang. Saya pun mengeluarkan sebuah sleeping bag dari ransel saya. Tidur di dalam sleeping bag cukup bisa melawan hawa yang semakin dingin. Kami masih sempat bercakap-cakap sejenak. Di luar hujan, angin, dingin, gelap, kabut, sunyi masih saja menjaga malam ini. Entah kapan, tiba-tiba saja kami sudah terlelap di buai mimpi.

Thursday, March 6, 2008

"Membakar Angkara Murka"

Sore itu aku sedang tertidur. Padatnya aktivitas di hari Kamis tanggal 6 Maret ini membuatku cukup kelelahan. Dalam lelap tidurku tiba-tiba ada suara yang memekakkan telingaku dan mengganggu tidurku. Suara itu tak terlalu asing bagiku. Sialan, umpatku dalam hati. Suara itu ternyata berasal dari ponsel bututku. Sebuah sms yang ternyata membuat ponsel itu meneriakkan sebuah nada dering. Dengan enggan aku membaca isi SMS itu. SMS dari seorang kawan ternyata.

"Bro, ntar malem ada ogoh-ogoh diarak. Tempatnya di Pura Jagatnata di daerah Sorowajan. Acaranya mulai sekitar jam 7an. Mau nonton gak?" Begitu isi sms dari kawanku.
"OK dech.Mau berangkat jam berapa?" balasku
Sebuah SMS balasan tak lama berselang muncul di layar ponsel bututku. "Aq gak nonton. Ada acara ama cowokku." Begitu isi sms balasannya.
"Ouw, yaudah. Aq ntar nonton ama temenku aja." Balasku lagi.

Kira-kira siapa ya yang mau aku ajak? Sejenak aq coba memilah-milah siapa kawan yang akan aku ajak. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajak mantan Redpelku di buletin kampus yang sekarang menjadi redaktur foto. Sebuah SMS dengan nada ajakan pun ku kirim kepadanya.

"Yo, mangkat yo raden. Aq tunggu di xp." Jawabnya lewat sebuah SMS balasan. Kawanku yang satu ini memang selalu memanggilku dengan sapaan hangat "Raden". Ada sebuah sejarah unik yang membuatnya selalu memanggilku seperti itu.

Tepat saat jam menunjukkan pukul 19.00 WIB aq menjemput kawanku itu. Aq menjemputnya di tempat yang sudah aku anggap sebagai rumah keduaku. Sejak masuk kuliah awal, aku telah menghabiskan beribu-ribu jam dan berpuluh ribu menit di tempat itu. Di tempat itu pulalah aku mulai belajar tentang membaca dan menulis yang sesungguhnya. Tak lupa juga aq belajar cara nyontong yang meyakinkan ditempat itu.

Sambil menunggu kawanku bersiap. Aku pun menyapa beberapa kawan di rumah keduaku itu. Kamipun berangkat menuju Pura Jagatnata. Tak lupa dua buah kamera digital kami bawa untuk mengabadikan momen perayaan Nyepi.

Jam di ponselku menunjukkan pukul 19.15 WIB. Saat itulah kami tiba di ujung perempatan yang merupakan jalan menuju Pura Jagatnata. Seorang Polantas menyuruh kami berbalik dan mengambil rute lain. Ternyata ogoh-ogoh akan diarak melewati jalan itu. Terpaksa kami harus mengambil rute lain.

Setelah bertanya pada seorang panitia, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu arak-arakan ogoh-ogoh lewat. Kemudian kami memarkir sepeda motor di depan rumah warga. Setelah memarkir motor, kami lalu berjalan menuju tempat start arak-arakan ogoh-ogoh.

Waktu itu dentang jam menunjuk angka 8 malam. Arak-arakan pun mulai diberangkatkan. Barisan pertama adalah orang-orang yang membawa obor. Disusul kemudian oleh barisan yang membawa alat musik tradisional bali. Baru kemudian rombongan ogoh-ogoh.

Ogoh-ogoh merupakan sebuah boneka besar yang berwujud raksasa menakutkan. Orang Jawa sering menyebutnya dengan nama buto. Pada rangkaian perayaan Nyepi, ogoh-ogoh dilambangkan sebagai sebuah perwujudan dari angkara murka yang ada di dunia.

Ada tiga ogoh-ogoh yang akan diarak dan dibakar di pura. Ukuran ketiga ogoh-ogoh pun berbeda. Ada yang kecil, menengah dan besar.

Ogoh-ogoh yang pertama berukuran kecil berwana ungu. Ogoh-ogoh ini berwujud raksasa yang memiliki taring panjang yang menyeringai. Kepala ogoh-ogoh ini tidak ada rambutnya. Ogoh-ogoh ini dihiasi lima buah anting-anting. Kelima anting-anting itu dipasang di telinga kanan, kiri, hidung dan kedua putingnya.

Ogoh-ogoh berukuran sedang berwarna hijau muda menyusul tepat dibelakangnya. Ogoh-ogoh ini juga berwujud raksasa yang memiliki taring panjang. Ogoh-ogoh ini memiliki rambut panjang dan gimbal. Selain itu sekujur tubuhnya juga dipenuhi dengan totol-totol berwarna hijau tua. Ogoh-ogoh ini juga memiliki kuku-kuku yang panjang.

Ogoh-ogoh terakhir berukuran paling besar. Ogoh-ogoh ini berwarna putih. Rambut kuku dan taring yang panjang juga dimiliki oleh ogoh-ogoh ini. Bedanya ogoh-ogoh ini mengenakan kain batik berwarna coklat tua.

Masing-masing ogoh-ogoh dipanggul oleh sekitar lima belasan pemuda Bali. Mereka mengenakan kain dan penutup kepala khas Bali. Sembari mengikuti irama musik tradisional Bali yang menghentak-hentak mereka memainkankan ogoh-ogoh dengan bersemangat.

Puluhan Mbok Jegeg juga tampak dalam arak-arakan. Mbok Jegeg-mbok jegeg ini mengenakan pakaian adat Bali. Puluhan mbok jegeg menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para penonton.

Dengan perlahan dan seirama arak-arakan pun mulai berjalan. Ternyata di dalam rombongan pembawa obor ada yang menyembur-nyemburkan api (mirip di sirkus-sirkus).

Tiba-tiba gelombang awan mendung menutupi langit Jogja. Disusul kemudian oleh desiran angin. Suasana mistik namun sakral pun menyeruak perlahan.

"Kebudayaan Bali memang penuh dengan aroma mistik namun eksotik," ketikku di layar ponsel. Aku mengirim sms itu keseorang kawan dekatku.

Kamipun tak ingin melewatkan momen-momen itu dengan begitu saja. Dengan kamera digital SLR Canon EOS 400D dan kemera pocket digital Nikon kami mengabadikan momen-momen dalam arak-arakan ogoh-ogoh.

Arak-arakan terus merayap menuju satu tujuan. Pura Jagatnata. Ditempat itu arak-arakan akan berhenti dan melemparkan ogoh-ogoh ke dalam jilatan api.

Pukul 20.30 rombongan arak-arakan tiba di Pura Jgatnata. Di halaman Pura sudah tampak kobaran api besar yang siap menyantap ogoh-ogoh. Alunan musik etnik Bali pun semakin nyaring terdengar dan semakin cepat pula temponya. Para pemaggul ogoh-ogoh berteriak-teriak dan menari-nari layaknya orang yang sedang trance. Aroma dupa pun semakin menusuk hidungku. Lagi-lagi aura mistis muncul.

Satu persatu ogoh-ogoh dilemparkan ke dalam kobaran api. Aku tiba-tiba teringat pada upacara Ngaben. Sembari melempar ogoh-ogoh para pemuda Bali berteriak-teriak dengan lantang. Teriakan mereka menggelegar membahana dalam kesakralan malam itu.

Ogoh-ogoh pun lenyap perlahan-lahan ditelan kobaran api. Suara-suara bahagia membahana di sekitaran Pura. Para pemuda menari-nari mengitari kobaran api tempat ogoh-ogoh dibakar. Alunan musik Bali pun terdengar semakin keras dan cepat. Perasaan suka cita pun tampak jelas dari mimik muka mereka. Angkara murka di dunia telah hilang seiring ogoh-ogoh yang terbakar. Harapan baru pun muncul dalam benak mereka.

Semoga saja angkara murka dapat segera terusir dari bumi pertiwi ini. Bumi pertiwi sudah terlalu banyak dirusak oleh oknum-oknum bejat yang dikuasai oleh angkara murka dan nafsu binatang.


Selamat Hari Raya Nyepi Saka 1930
















Sunday, March 2, 2008

Download Buku

Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan buku pelajaran sudah bisa di-download melalui situs Departemen Pendidikan Nasional yakni www.sibi.or.id atau email pusbuk@sibi.or.id. Siapa saja bisa men-download menggandakan dan menerbitkan. Saat ini siap 37 teks buku pelajaran yang sudah dibeli dan kemudian akan diperbanyak lagi. Yang kemudian akan disusul oleh sekitar 250an teks buku pelajaran lainnya.
Kebijakan ini dibuat untuk menciptakan program buku murah. Masing-masing penerbit bebas untuk mendownload dan mencetak buku-buku itu. Tapi tentu saja harga jual buku download tidak boleh melebihi harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan oleh Depdiknas. Dan tak hanya penerbit saja yang bisa mendownload. Guru maupun peserta didik juga diperbolehkan untuk mendownload.
Hanya saja ada beberapa permasalahan yang sering kita lupakan. Kemampuan penguasaaan iptek yang berbeda antara peserta didik yang sekolah di kota dengan yang di desa menjadi kendala. Jangankan mendownload dari internet. Mengoperasikan komputer pun mungkin peserta didik yang di desa belum mampu. Alangkah tidak bijaksana jika Depdiknas mengeneralisasikan kemampuan peserta didik dalam hal penguasaan iptek.
Memang benar pemerintah telah membuat program internet masuk desa. Tetapi sayangnya pemerintah justru menjadi agen distribusi dari microsoft. Bayangkan saja betapa menghegemoni dan memonopolinya microsoft dalam hal iptek. Hampir semua komputer yang digunakan dalam program internet masuk desa menggunakan software microsoft. Itu indikasi betapa microsoft begitu memonopoli. Dan anehnya lagi pemerintah tidak sadar atau malah pemerintah sedang terkena fenomena "realitas menindas yang memukau". Padahal masih ada beberapa software seperti linux yang bisa saja digunakan sebagai alternatif.
Selain penguasaan iptek, penyalahgunaan hasil download juga menjadi permasalahan dari kebijakan ini. Ketentuan penerbit boleh mendownload kemudian menggandakan buku pelajaran justru dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Oknum itu akan menjual buku murah tetapi mengabaikan kualitas produk.
Dan lagi-lagi yang akan menjadi korban adalah pembeli yang notabene peserta didik maupun guru.
Sering bergantinya kurikulum yang dilakukan oleh Depdiknas juga dikhawatirkan akan membuat sia-sia buku hasil download. Karenanya buku pelajaran itu tidak akan bertahan lama. Tak ada gunanya buku murah jika kita harus rutin menggantinya.
Tapi apapun kebijakan pemerintah, tak ada salahnya disosialisasikan terlebih dahulu. Harapannya kebijakan itu bisa dikritisi oleh masyarakat. Sehingga ditemukan kebijakan yang paling pas dan cocok untuk masyarakat.

Sunday, January 13, 2008

Dendam Lawu!!!!!

Ini merupakan sebuah catatan perjalanan di lawu....

Tanggal 24 Desember 2007 bersama seorang kawan saya yang bernama Yoga, saya memutuskan untuk mendaki Gunung Lawu. Awalnya saya dan kawan saya berencana naik gunung untuk mengusir rasa bosan dengan rutinitas sehari-hari. Saya bosan dengan rutinitas kuliah dan organisasi. Jika tidak boleh dikatakan bosan mungkin kita akan menyebutnya sebagai titik jenuh.

Kami berangkat dari Jogja pukul 16.00 WIB. Awalnya kami akan berangkat pukul 13.00 WIB. Tapi karena ada beberapa kendala akhirnya kami baru bisa berangkat jam 16.30 WIB. Kami berangkat menggunakan sebuah motor. Motor Karisma 125 tepatnya. Motor itu kami peroleh setelah melakukan tukar guling dengan seorang kawan. Motor WIN tepatnya yang kami tukar guling dengan motor Karisma itu.

Awal keberangkatan, saya yang mengemudikan motor itu hingga Karanganyar. Sesampainya Karanganyar kawan saya yang mengemudikannya. Sekitar pukul 18.30 kami berhenti sebentar di Pasar Tawangmangu untuk membeli beberapa perbekalan. Rokok dan camilan tepatnya. Kami membeli 4 bungkus rokok. Di depan pasar, kami bertemu dengan anak2 HIMPALA atau mapalanya Universitas Muhammadiyah Surakarta yang akan melakukan pelantikan anggota baru di lereng Lawu.

Perjalan kami mencapai Cemoro Sewu (basecamp pendakian Gunung Lawu) sempat terhalang oleh kabut tebal dan hujan lebat. Pandangan kami hanya bisa menjangkau sekitar 3 meteran. Padahal daerah yang kami lewati merupakan jalan di lereng Lawu. Tentu saja jalannya menanjak dan di sisi kanannya terdapat jurang dalam yang siap menerima kehadiran kami jika lengah.

Akhirnya kami tiba di Cemoro Sewu pukul 20.00 WIB. Disana kami disambut oleh beberapa kawan dari ranger Lawu dan rombongan pendaki dari Surabaya. Kami pun bercakap-cakap sembari menghisap rokok dan menyeduh kopi. Suhu di basecamp cukup dingin. 18 drjt celcius pastinya. Sekitar pukul 23.30 kami memutuskan untuk beristirahat.

Sekitaran pukul 02.00 WIB hujan deras mengguyur basecamp. Kami terbangun pukul 06.00 WIB. Suara motor-motor trail memecah kesunyian tempat itu dan memaksa kami untuk bangun dari mimpi indah. Suhu pagi itu sangat dingin. kami mendapat kabar bahwa dinihari tadi terjadi badai di Gunung Lawu.

Setelah packing ulang dan mengisi air, pukul 07.00 WIB kami memulai pendakian ke Gunung Lawu. sebelum mulai mendaki, kami mendapat wejangan dari ranger Gunung Lawu. "Jika kalian diikuti oleh gagak gading, jangan diganggu. Gagak itu merupakan penunjuk jalan bagi para pendaki. Jika diganggu maka kalian akan tersesat di Gunung Lawu!" wejangnya.

Kami mulai mendaki dengan santai. Masing-masing dari kami membawa tas yang bermuatkan sekitar 20 kg. sekitar 100 meteran kami berjalan kami berpapasan dengan para petani yang akan berangkat menggarap ladangnya. Kami berjalan sambil menghisap rokok. Sesekali kami saling bersenda gurau. Kami sempat berhenti sejenak untuk menyantap setangkap roti tawar di pos pengamatan ladang.

Pukul 09.oo kami mencapai pos satu. Disana kami bertemu dengan rombongan pengendara trail dan satu rombongan pendaki yang turun dari Gunung Lawu. Kami akhirnya beristirahat sambil mengobrol santai dengan para pengendara motor trail. Motor trail hanya bisa mencapai pos satu Gunung Lawu. Setelah lewat pos satu, motor trail sudah tidak bisa melewati rute perjalanan. Setelah hampir 45 menit beristirahat, kami memutuskan meneruskan pendakian.

Dari pos satu ke pos dua kami sering sekali berpapasan dengan para pendaki yang turun. "Hati-hati mas kalo mau naek, di atas semalam badai kenceng," tutur mereka. Kami tetap meneruskan pendakian. Rute dari pos satu ke pos dua sekitar dua kilo meteran, tak terlalu jauh memang. Tapi jalan yang menanjak terjalah yang membuatnya cukup sulit untuk dilewati.

Setengah pendakian dari pos satu ke pos dua, tiba-tiba hujan mengguyur kami. Suhu pun semakin dingin. Aku lalu menyalakan sebatang rokok yang merupakan batang ketujuh yang kuhisap hari ini. Rokok kuhisap beriringan dengan tarikan nafasku. Cukup membuatku lumayan nyaman.

Ternyata hujan semakin deras. Perut lapar dan hawa dingin mulai menyerang kami. Kami memutuskan untuk menyantap roti tawar lagi. Roti tawar bercampur air hujan tepatnya. selesai makan, kami mempercepat langkah. Cuaca semakin tidak bersahabat. Hujan deras dan hawa dingin belum cukup menyiksa kami. Angin kencang pun mulai mempermainkan kami.

Setelah kepayahan diserang cuaca buruk, akhirnya kami tiba di pos dua. Tepat pukul 11.00 WIB. Di pos dua kami bertemu dengan rombongan dari Surabaya. Di pos dua ini kami memutuskan untuk mendirikan tenda. Di pos ini kami beristirahat sembari menunggu hujan reda. Bukannya reda, hujan justru makin menggila. Rombongan dari Surabaya memutuskan untuk meneruskan pendakian ke pos tiga.

Akhirnya kami menunggu hujan sembari memasak. Sekitar jam tiga datang rombongan bapak2 dan ibu2. Mereka berteduh di pos dua bersama kami. Kami pun mengobrol dengan mereka. Ternyata mereka merupakan rombongan peziarah Gunung Lawu. Gunung Lawu selain digunakan untuk pendakian juga merupakan gunung ritual. Banyak orang mengalap berkah di gunung ini. Konon raja Brawijaya muksa di Gunung ini.

Mereka pun memutuskan melanjutkan perjalanan di tengah cuaca buruk. Namun ada hal yang membuat saya cukup marah pada mereka. Mereka membakar dupa tepat di belakang tenda kami. Dan dengan seenaknya mereka meninggalkan dupa itu tetap menyala. Untung saja tenda kami tidak terbakar. Tetapi aroma dupa itu masih tertinggal.

Sore itu kami memutuskan untuk tidur. Tak ada hal yang bisa kami lakukan ditengah cuaca buruk seperti ini. Malam pun menjelang.

Aku terbangun pukul 19.00 WIB. Cuaca ketika itu masih saja buruk. Makin buruk malah. Hujan semakin deras, angin bertambah kencang, kabut pun makin tebal, dan tak ketinngalan suhu yang semakin dingin. Sekitar 10 drjt celcius. Kami memasak nasi, air dan mie instan.

Rokok kembali aku nyalakan. Cukup bermanfaat melawan suhu sedingin ini. makanan telah matang. Kami lalu menyantapnya. Selesai makan kami bercakap-cakap sambil memikirkan langkah selanjutnya dari pendakian kami. Akhirnya kami memutuskan jika esok pagi cuaca tetap seperti ini, maka kami akan turun. Bau dupa masih saja tersisa. Ini menambah susana horor malam itu. Hujan, kabut, angin, dingin, gelap, dan hawa mistis menjadi satu. "Sial bener malam ini," umpatku.

Malam semakin larut dan tentu saja cuaca masih belum membaik. Saat itu jam dihpku menunjukkan pukul 23.10 WIB. Kami masih saja belum tidur. Kami masih saling mengobrol dan saling berkeluh kesah. Entah itu dari masalah kuliah, organisasi, utang ma ibu kantin. Obrolan seputar cewek kami masing-masing pun kami obrolkan. bahkan yang cabul-cabul pun sempat juga kami bahas. Bau dupa masih saja tersisa.

Tiba-tiba dari luar terdengar ada orang bercakap-cakap. Kami pun keluar tenda untuk memastikannya. Ternyata kami tidak menemukan siapapun di luar tenda. Kami pun masuk ke tenda lagi. Begitu kami menutup tenda, suara percakapan muncul lagi. Kami pun keluar tenda lagi untuk memastikan. Lagi-lagi tidak ada siapapun di luar tenda. Akhirnya kami cuek saja walaupun suara2 percakapan tetap muncul.

Entah jam berapa kami terlelap. Tiba-tiba saja alarm di hp saya menunjukan pukul 05.00 WIB. Tanggal 26 Desember 2007 tepatnya. Kami pun melihat situasi diluar tenda. Ternyata cuaca masih saja seperti semalam. Pagi itu suhu sangat dingin. Pandangan kami terbatasi oleh kabut tebal. Rokok pun kembali aku nyalakan. Rokok pertama ku di pagi yang dingin ini.

Kami pun kembali menata ulang rencana pendakian. Akhirnya kami memutuskan jika pukul 07.00 WIB cuaca masih seperti ini maka mau tidak mau kami harus turun. Kami tidak mau mengambil resiko dengan cuaca yang seperti ini.

Sembari menunggu pukul 07.00 kami memasak dan merebus air. Air pun matang. Kami lalu membuat kopi panas. Segelas kopi panas dan rokok cukup membantu kami ditengah cuaca buruk ini.

Akhirnya pukul 07.00 tiba. Cuaca masih saja sama dengan semalam. Hujan deras, kabut tebal, angin kencang, dan hawa dingin masih saja menyerang. Akhirnya kami pun melakukan packing. Tepat pukul 07.30 kami berjalan menuruni lawu. Kami berjalan ditemani oleh hujan, angin, dingin dan tentu saja kabut. Saking buruknya cuaca, mantol yang kami gunakan menjadi sobek-sobek.

Setelah berjalan sekitar 500 meteran, tiba-tiba di depan kami sudah ada buruk gagak. Gagak itu hinggap di sebuah batu. Bulu gagak itu berwarna seperti gading. Seketika itu pula kami teringat pada sosok gagak gading yang diceritakan oleh ranger Gunung Lawu.

Tanpa mengusiknya kami berjalan persis di depan burung Gagak itu. Tiba-tiba burung Gagak Gading terbang. Kami pun meneruskan perjalanan. Setelah berjalan 200 meter. burung Gagak Gading muncul lagi di depan kami. Lalu terbang lagi. Bahkan Gagak Gading sempat terbang di atas kami seraya mengiringi perjalan kami. Burung Gagak Gading terus menemani kami hingga kami tiba di pos satu.

Akhirnya kami sampai di basecamp pendakian pukul 10.30 WIB. Sekitar 15 menit kemudian, rombongan dari Surabaya sampai di basecamp dengan basah kuyup. Ternyata di pos tiga badai lebih parah lagi. Tenda mereka sempat terendam air hujan. Dibasecamp kami mendengar kabar bahwa pagi itu terjadi tanah longsor di karanganyar....


Tepat pukul 15.00 WIB kami memulai perjalanan pulang ke Jogja. Sebelum pulang,kami masih sempat menatap Gunung Lawu yang ditutupi oleh kabut. Dalam hati saya tersimpan sebuah dendam kepada Gunung Lawu. Dendam untuk mencapai puncak Gunung Lawu.