Wednesday, September 3, 2008

Dalam Kebisuan Aku Berprestasi


Di tengah perlombaan tiba-tiba ia berhenti berlari. Tengok kanan kiri. Ia kemudian mendengar teriakan “Ayo lari”. Bergegas ia meneruskan kembali larinya. Tentrem, anak tuna grahita ini sedang mengikuti lomba lari.

Sabtu 07 Juni 2008 pukul 06.30 WIB. Suasana pagi itu terasa cerah. Matahari bersinar cukup terang. Dari salah satu rumah di Karangpoh yang kondisinya sudah tidak kokoh lagi tampak ada aktivitas. Rumah itu berada tepat di perempatan jalan. Kepulan asap tampak dari belakang rumah, asap dari tungku.

Tak berapa lama, dari rumah itu keluar dua orang. Seorang anak laki-laki dan perempuan. Keduanya mengenakan seragam pramuka. Warna cokelat seragam yang di kenakannya sudah terlihat pudar. Raut wajah keduanya terlihat begitu segar. Keduanya tampak begitu semangat. Sesekali tersungging senyum dari bibir mereka.

Dengan menenteng sebuah tas berwarna hitam, anak perempuan itu mulai berjalan. Sepatu hitam yang tadinya menapaki tanah merah di depan rumah beralih menapaki jalan beralas semen. Jalan ini membentang sepanjang Karangpoh. Di salah satu sudut jalan itu tergores tulisan 1998. Sebuah goresan yang menandakan tahun dibangunnya jalan itu.

Anak perempuan itu terus saja berjalan. Tak ada percakapan sedikitpun dengan anak di sampingnya. Pandangannya lurus menatap jalan. Sepatu hitamnya beralih menginjak jalan berbatu. Jalan bersemen hanya melapisi tanah merah sepanjang satu kilometer dari rumah anak perempuan itu. Selebihnya jalan berbatu yang harus dilewati.

Ia masih saja berjalan. Dua puluh menit telah dilalui. Sesekali tangan si anak memainkan rambut pendeknya. Sesekali pula tangannya memetik dedaunan dari pohon yang dilewatinya. Lingkungan Karangpoh memang masih asri. Pohon-pohon yang tumbuh di sana cukup banyak. Sebagian besar adalah pohon jati.

Tepat pukul 07.00 WIB, si anak perempuan memasuki gerbang besi berwarna perak. Di sana terdapat ukiran besi yang bertuliskan Sekolah Luar Biasa (SLB) Darma Putra. Akhirnya, ia menginjakkan kaki di sekolahnya. Lalu, ia berjalan menuju pohon mangga dan duduk di bawahnya. Menunggu bel masuk berbunyi. Hanya sendirian saja.


***

Anak perempuan itu bernama Tentrem. Sangat singkat. Namun perjalanan hidup yang dialaminya tak sesingkat namanya. Dalam diri Tentrem mengalir trah Karangpoh yang diwariskan Sonto Sentiko. Ia lahir dari rahim seorang ibu yang menderita keterbelakangan mental. Damiyem namanya. Giyono adalah ayahnya. Keterbelakangan mental ini harus dideritanya sejak lahir. Tiga dari empat saudara kandungnya juga mengalami hal yang serupa.

Sehari sebelumnya Tentrem baru saja menjadi juara dua lomba lari SLB tingkat kabupaten. Lomba lari diadakan di SLB Negeri 1 Wonosari, Gunung Kidul. Diantar oleh Bu Ning, guru SLB nya, dan beberapa guru lain, Tentrem dan beberapa temannya mengikuti lomba ini.

Matanya lurus menatap ke lintasan lari. Raut wajahnya mengobarkan semangat berapi-api. Sesekali kedua tangannya mengepal. Di samping kanan kirinya telah berdiri beberapa lawannya.

Priiittt….., wasit pertandingan meniup peluitnya. Pertandingan lari dimulai. Tentrem mulai berlari. Sesekali Tentrem berhenti. Kepalanya menengok ke berbagai arah. Kadang menengok ke arah penonton. Beberapa kali pula dia menengok ke arah para guru SLB Darma Putra yang mendampinginya.

“Ayo lari!” teriak beberapa guru SLB Darma Putra. Guru SLB lainnya juga turut berteriak, tak mau kalah memberikan semangat kepada siswanya. Suasana pun menjadi ramai dipenuhi suara guru SLB.

Suara dari para guru memang sangat diperlukan. Lomba lari ini berbeda dari yang biasanya. Pada perlombaan lari ini, para peserta sesekali berhenti. Kemudian lari lagi. Berhenti. Lari lagi beberapa saat kemudian. Selalu seperti itu.

Saat kondisi seperti itu peran guru pendamping lomba sangat penting. Dengan keterbatasan kemampuan berpikir para peserta, teriakan dari para guru akan merangsang peserta untuk kembali berlari.

“Jangan nunggu lawannya. Lari saja terus,” teriakan itu terdengar dengan jelas oleh Tentrem. Ia kembali berlari. Keringat terlihat membasahi baju larinya. Dari dahinya beberapa peluh menetes.

Tentrem masih saja berlari. Dari belakang muncul seorang peserta lain yang menyalipnya. Tiba-tiba Tentrem berhenti berlari. Teriakan ayo lari, jangan berhenti, kembali membuat Tentrem berlari.

Cukup jauh jarak antara Tentrem dengan lawan di depannya. Ia mempercepat lari. Keringat semakin membasahi kaos olahraganya. Kini jarak sudah tak terpaut jauh, hanya tinggal beberapa pijakan saja. Garis finish tampak semakin dekat. Jarak 100 meter sudah hampir diselesaikan. Tentrem masih berusaha keras menyalip lawannya yang hanya tinggal beberapa langkah di depan.

Keringat semakin deras mengucur. Namun lawan di depan sudah menyentuh garis finish. Padahal jarak Tentrem hanya terpaut satu langkah dari sang lawan. Tentrem akhirnya harus puas menjadi juara dua, padahal tahun lalu Tentrem berhasil menyabet juara pertama. Dengan keringat yang bercucuran terlihat jelas raut wajah kecewa dari mukanya.


***

Minggu pagi itu tanggal 08 Juni 2008, dari rerimbunan pohon jati di belakang rumah Tentrem terdengar suara burung. Di sebelah rumah tampak sosok Tentrem sedang memetik daun ketela. Ia ditemani oleh Mbok Darmo. Baju yang dikenakan Tentrem masih sama dengan yang dikenakannya tadi malam, kaos merah dan rok biru.

Tentrem baru bisa membantu memasak dan mencuci piring setahun belakangan ini. Sebelumnya anak perempuan yang memiliki tahi lalat di lehernya ini tidak bisa melakukan itu. Perlu kesabaran yang lebih untuk mengajarkan memasak dan mencuci kepada Tentrem karena temperamennya yang cukup tinggi. Mbah Lompong pernah sekali menasehatinya. Bukannya mengikuti nasihat yang diberikan, Tentrem justru kabur dari rumah. “Nggih ngoten, Mas, nek ajeng nasehati bocah keterbelakangan mental kuwi kudu ngati-ati. Mboten purun banter-banter ( Ya, begitu mas, kalo ingin menasihati anak keterbelakangan mental harus hati-hati. Tidak boleh terlalu keras),” cerita Mbah Lompong sambil sesekali memainkan frame kacamata plusnya.

Selain membantu Mbok Darmo, Tentrem biasanya juga bekerja di sawah. Aktivitas itu dilakoninya selepas pulang sekolah. Merumput adalah hal yang paling kerap dilakukannya di sawah, terlebih saat musim panen padi.

Tentrem baru saja lulus Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). “Di sekolah ia tergolong siswa yang pendiam. Jarang terlihat dia bercakap dengan temannya,” ungkap Pak Darno selaku guru kelasnya.

Di lingkungan rumahnya pun Tentrem jarang berinteraksi. Dia hanya mau berinteraksi dengan kedua orang tuanya. Itu pun hanya seperlunya saja, selebihnya Tentrem hanya membisu. Bahkan ayahnya pun tidak tahu jika Tentrem menjuarai lomba lari. “Saya justru tidak tahu kalau Tentrem itu juara lari. Kemarin Tentrem cuma bilang kalau mau berangkat lomba,” ujar lelaki yang hampir seluruh rambutnya berwarna putih. Bahkan di lingkungan rumahnya tak banyak yang tahu bahwa Tentrem adalah juara lari.

“Yah, memang disayangkan jika orang lain tidak mengetahui potensi yang dipunyai oleh anak keterbelakangan mental,” terang bu Tarti selaku humas SLB Dharma Putra. Menurut Bu Tarti, seharusnya potensi anak-anak keterbelakangan mental harus diketahui oleh orang lain. Dengan begitu maka akan diketahui pembelajaran atau pembinaan yang tepat buat si anak.

Pukul sepuluh pagi. Dari rumah di perempatan jalan itu kembali keluar sosok si anak perempuan. Kali ini dia hanya sendiri. Tangannya yang sebelah kanan kini membawa sebuah arit (alat untuk merumput). Tentrem akan berangkat ke sawah, menunaikan tugas seperti biasanya.