Wednesday, March 26, 2008

Lawu part I

Minggu ketiga di bulan Maret ini ada libur yang cukup lama. Sekitar empat hari kuliahku libur. Kala itu bosan, capek, bingung, puyeng menjadi satu kesatuan di pikiranku. "Butuh refreshing nech," kataku dalam hati. Saya mencoba merumuskan tempat-tempat mana yang akan saya gunakan untuk refreshing selama emapat hari. Ada beberapa opsi dalam benak saya. Kemping di Puncak Suroloyo ato kali Kuning, mancing di Waduk Sermo, putar-putar kota Jogja ato mencium puncak Gunung Lawu. Akhirnya saya memutuskan untuk mencium puncak Lawu.

Saya pun mengajak beberapa kawan dekat saya. Pertama kali yang saya ajak adalah kawan sekelas saya di kampus. Kawan sekelas saya ini memang sangat suka naik gunung. Kemudian saya mengajak juga bekas partner kerja saya sewaktu mengerjakan EXPEDISI. Tak ketinggalan saya mengajak seorang kawan kuliah dari Jakarta.

Ketiga kawan yang saya ajak tadi menyatakan kesediaannya. "Ayo berangkat." jawab mereka. Akhirnya saya dan seorang kawan menyusun jadwal keberangkatan kami ke Gunung Lawu. Awalnya kami memutuskan untuk berangkat hari Kamis tanggal 20 Maret 2008. Namun karena mepetnya persiapan dan juga ada kesalahan packing maka keberangkatan ditunda sehari berikutnya.

Ternyata penundaan sehari itu menyebabkan dua kawan yang lain tidak bisa ikut. Mereka ragu-ragu jika hari Sabtu malam mereka belum di Jogja. Kedua kawan saya ini ternyata ada agenda untuk mengisi diklat jurnalistik di kulon Progo pada Hari Minggunya. Akhirnya hanya saya dan seorang kawan yang berangkat untuk mencium puncak Lawu.

Setelah selesai mengecek perlengkapan dan bekal yang akan di bawa, kami memutuskan untuk segera berangkat. Kami berangkat pada tanggal 21 Maret 2008 saat dentang pukul menunjuk angka 10.45 WIB. Kami berangkat dari rumah saya menggunakan sebuah sepeda motor butut. Sebuah motor berkopling dengan tahun pembuatan 1992. Motor ini sempat saya gunakan untuk kuliah selama hampir satu tahun lebih.

Kami berangkat berboncengan. Saya yang mengemudikan motor dan akan berganti pengemudi apabilasudah mencapai daerah Tawangmangu. Kami berangkat sambil membawa dua tas gunung. Satu berwarna hitam dengan merk avtech dan yang satunya olagi sebuah tas gunung bermerk carvan warna biru tua. Tas hitam berbobot sekitar 6 kiloan.Sedangkan satunya lagi tas carvan biru berbobot sekitar 17 kiloan. Cukup berat memang.

Dalam perjalanan Jogja-Lawu kami sempat tiga kali berhenti. Pertama kami berhenti di POM bensin di daerah Klaten. Kedua kami berhenti di sebuah masjid di daerah Palur, Karanganyar. Berhenti yang kedua ini karena kami melakukan jumatan dimasjid itu.

Selesai Jumatan kami pun melanjutkan perjalanan. Tepat pukul 13.30 WIB kami berhenti di Pasar Tawangmangu. kami berbelanja bekal makanan dan juga makan siang di sebuah warung kaki lima. Warung itu berada tepat di depan pos ojek pasar Tawangmangu. Saat itu saya memesan tempe penyet dan kawan saya memesan lele goreng.

Di warung kaki lima ini kami berkenalan dengan Pak Budi. Pak Budi juga akan mendaki Lawu. Bapak yang mempunya kumis ini berdomisili di Semarang. "Mau naek dari cemoro sewu atau cemoro kandang mas?" tanya Pak Budi sambil menyalakan rokok kreteknya. :Cemoro Sewu pak," jawabku sambil mengunyah tempe penyet pesananku. "Rombongan atau sendiri pak naeknya?" tanya kawanku. "Rombongan mas, 13 orang satu rombongan," jawab Pak Budi sambil menghembuskan asap rokoknya.

Setelah bercakap ala kadarnya, kami pun berpamitan dengan Pak Budi. "Kita tunggu di Cemoro Sewu mas," ucap Pak Budi sambil menjabat tangan kami bergantian. "OK pak,"jawabku sambil tersenyum.

Selesai berpamitan, kami melanjutkan perjalanan lagi. Kali ini kami harus melewati jalan yang menanjak. Perjalanan kami pun akan melintasi Propinsi Jawa Tengah dan akan menuju Jawa Timur. Sebab Cemoro Sewu berada di Magetan, Jawa Timur. Jarak antara tugu perbatasan dengan Cemoro Sewu hanya sekitar 200 meteran saja. Sehingga tak heran apabila Gunung Lawu dibagi menjadi dua kepemilikan. Separuh masuk Jawa Tengah dan separuhnya lagi masuk Jawa Timur.

Tepat saat jam di mobile phone saya menunjukkan pukul 15.30 kami tiba di Cemoro Sewu. Untuk mencapai Cemoro Sewu tidak mudah bagi kami. Karena sebelumnya, kami sempat kehabisan bensin ditanjakkan yang cukup tinggi. Kami pun terpaksa harus mendorong motor untuk mencari penjual bensin. "Lumayan pemanasan," sahutku dengan agak kesal.

Setelah berjalan sekitar 100 meteran, kami pun mendapat bensin. Perjalanan kami teruskan. Kali ini kami disambut oleh hujan deras dan angin kencang. "Kayaknya bakalan apes nech,"ujar kawan saya. "Yakin aja," jawabku sambil bersembunyi di balik mantol.

Akhirnya kami tiba di basecamp pendakian cemoro sewu. Basecamp ini bercatkan warna biru pada temboknya. Kami pun buru-buru memasuki basecamp. Karena hujan semakin deras. Begitu masuk ke basecamp kami pun segera menutup pintu basecamp yang berwarna hijau tua. Di dalam basecamp ada tiga ruangan. Ruang pertama adalah ruangan tamu. Disana terhampar beberapa lembar tikar. Ruangan ini biasanya digunakan oleh para pendaki untuk beristirahat. Entah itu pendaki yang baru turun dari Gunung Lawu maupun yang akan mendaki Gunung Lawu.

Di ruangan ini kami sempat berkenalan dengan beberapa rombongan. Ada empat rombongan saat itu. Rombongan pertama dari Solo. Ada sepuluh orang dalam rombongan ini. Mereka baru saja turun dari Gunung Lawu siang tadi. Rombongan kedua dari Jakarta. Rombongan ini beranggotakan empat orang. Mereka pun juga baru saja turun dari Gunung Lawu tadi siang. Rombongan ketiga dari Surabaya. Mereka akan mendaki besok pagi. Rombongan ini beranggotakan empat orang. Sedangkan rombongan terakhir adalah rombongan kami.

Ruangan kedua adalah Rescue Room. Ruangan ini tidak bisa dimasuki sembarangan orang. hanya tim Rescue Gunung Lawu saja yang bisa masuk. Lalu ruangan terakhir adalah ruang gudang milik tim Rescue.

Tepat jam 16.00 kami memutuskan untuk memulai pendakian. Sebelumnya kami harus membayar retribusi sebesar Rp.5000,00 per orang. Kami pun harus registrasi dahulu. Kami ditanya kapan akan turun oleh seorang petugas yang mengenakan seragam coklat. "Sabtu malam pak,"jawabku sambil menyerahkan uang kertas bernominal Rp.10.000,00. Perjalanan kami lanjutkan setelah tiket retribusi berwarna putih dengan label "Retribusi Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur" kami peroleh.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Kami berjalan diiringi oleh hujan yang cukup deras. Angin kencang juga tak mau ketinggalan untuk menemani kami. Setelah melewati area camping ground, hujan semakin deras. Mantol yang kami kenakan tidak sanggup menahan derasnya hujan. Pakaian yang kami kenakan di balik mantol lambat laun menjadi basah. "Gak ada bedanya pake mantol ama enggak," keluh kawanku.

Setelah satu jam berjalan kami melewati lahan milik penduduk. Penduduk disini menanami lahan dengan tanaman wortel dan bawang merah. Saat berjalan kami sempat berpapasan dengan beberapa penduduk. Mereka umumnya menggotong rumput "kolonjono" untuk makan ternak. "monggo pak," sapa kami tiap kali berpapasan dengan penduduk. Monggo dhek,ngatos-ngatos njih munggahe," jawab mereka.

Hujan masih saja belum berhenti. Hawa dingin pun semakin kami rasakan. Kami masih saja terus berjalan. Tepat saat magrib, kami tiba di pos satu. Dari base camp ke pos satu jaraknya sekitar satu kiloan. Kami beristirahat sejenak sembari menyalakan rokok. Lumayan agak menghangatkan pikirku. Ini adalah rokok keempat yang aku hisap hari ini. Kurang dua batang lagi pikirku. Hari ini saya membatasi diri agar hanya merokok paling maksimal 6-7 batang saja.

Setelah separuh batang aku hisap, kami pun melanjutkan lagi perjalanan. Aku benar-benar tidak bisa menikmati perjalanan kali ini. Kami berjalan perlahan. Tas gunung yang aku gendong semakin berat saja. Aku merasa tas ini bebannya bertambah sekitar dua kiloan. Terkena air hujanlah yang menyebabkan beban tas bertambah.

Beban hampir 20 kiloan yang ada dipunggung cukup menguras tenagaku. Nafasku sedikit terengah-engah. Komplit sudah hari ini. Hujan, angin, hawa dingin dan beban berat menjadi satu. Tapi kami masih saja berjalan. Dari pos satu ke pos dua kami harus berjalan hampir dua kiloan meter. Jalan yang dilewati pun mulai terjal dan licin. Cukup melelahkan.

Kami tiba di pos dua tepat pukul 20.00 WIB. Untuk mencapai pos dua ini kami harus menembus pekatnya malam. Kabut juga turut menghalangi pandangan kami. Senter yang kami bawa cukup membantu kami. Di pos ini sudah ada empat tenda yang sudah berdiri. Tiga berwarna biru putih dan yang satu klagi berwarna merah. Di pos ini kami sempat beristirahat sekitar lima menitan. kawan saya beristirahat sambil menyalakan sebatang rokok. Sedangkan saya hanya duduk saja. Saya sudah memutuskan untuk merokok lagi jika tenda kami sudah didirikan.

Di waktu beristirahat ini, kami sempat berunding. Terus melanjutkan perjalanan ke pos tiga atau mendirikan tenda di pos dua. Akhirnya kami mensepakati untuk melanjutkan perjalanan.

Jarak pos dua ke pos tiga sekitar 800 meteran. Namun jalannya sangat menanjak. Tak ada jalan turun ataupun datarnya. Habis rokok yang dihisap kawan saya, kami pun berjalan lagi. Kali ini kami berjalan bersama dengan rombongan dari Semarang. Rombongannya Pak Budi ternyata. Kami pun sempat bercakap dan berjabat tangan dengan Pak Budi.

Hujan semakin deras saja. Dinginpun semakin menusuk ke tulang-tulangku. Diiringi nyala lampu senter, kami pun menembus kegelapan Gunung Lawu. Nafasku semakin terengah-engah. Tas gunung di punggung semakin bertambah berat saja. Jalan pun kian menanjak. Jalan ini merupakan trek terberat di Gunung Lawu.

Kami berjalan sangat pelan sekali. Tenaga kami terforsir habis-habisan. Sesekali kami terpaksa beristirahat sejenak. Dinginnya Lawu semakin menjadi-jadi. Perut lapar dan kehabisan tenaga menyerang kami. Dalam benak saya hanya ada segera dirikan tenda, memasak dan makan.

21.15 WIB, begitu angka yang tertera di mobile phone ku. Akhirnya kami tiba di pos tiga. Di pos tiga kami bertemu dengan rombongan dari Tangerang. mereka sudah lebih dulu tiba di pos tiga. Saat kami temui, mereka sedang memasak makan malam. Segera saja kami mendirikan tenda.

Untuk mendirikan tenda kami tak butuh waktu lama. Sekitar 5 menitan sebuah tenda berwarna putih dengan perpaduan merah telah berdiri. Tenda bermerk Everest ini sebenarnya berkapasitas untuk 6 orang. Begitu tenda berdiri kami segera memasukkan barang-barang kami ke dalam tenda.

Selesai memasukkan barang, kami segera merebus air. Sebuah kompor dikeluarkan oleh kawan saya. Kompor ini sangat sederhana. Boleh juga dibilang sangat primitif. Kompor ini hanya sebuah kaleng minuman yang kami potong menjadi dua. lalu kompor itu kami isi dengan spiritus. Dan beralih fungsilah kaleng minuman menjadi sebuah kompor.

Sambil menunggu air matang, kami pun mengganti pakaian. Maklum pakaian kami basah kuyup terkena derasnya ait hujan. Sebuah kaos hitam dan celana pendek pun saya kenakan.

Air pun segera mendidih. Kami pun membuat kopi panas. Namun tak perlu menunggu lama untuk mendinginkan kopi sehingga bisa segera diminum. hawa dingin cukup membantu mendinginkan kopi buatan kami. Segera saja saya seduh kopi itu. Sejenak kemudian badan saya merasa cukup hangat. Sebatang rokok pun saya nyalakan untuk menemani minum kopi. Rokok kelima hari ini.

Setelah agak hangat kawan saya pun segera memasak makan malam. Mie goreng, menu makan malam kami. Selesai makan, kawan saya merebus air lagi. Kali ini kami membuat jahe hangat. jahe hangat cukup membantu melawan hawa dingin di Gunung Lawu. Sambil minum jahe kami bercakap-cakap sembari diiringi canda tawa.

23.00 WIB jam di mobile phone saya. Mobile phone saya kali ini hanya bisa berfungsi sebagai penunjuk waktu. Tidak ada sinyal di mobile phone saya. Rasa kantuk dan lelah mulai menyerang. Saya pun mengeluarkan sebuah sleeping bag dari ransel saya. Tidur di dalam sleeping bag cukup bisa melawan hawa yang semakin dingin. Kami masih sempat bercakap-cakap sejenak. Di luar hujan, angin, dingin, gelap, kabut, sunyi masih saja menjaga malam ini. Entah kapan, tiba-tiba saja kami sudah terlelap di buai mimpi.

Thursday, March 6, 2008

"Membakar Angkara Murka"

Sore itu aku sedang tertidur. Padatnya aktivitas di hari Kamis tanggal 6 Maret ini membuatku cukup kelelahan. Dalam lelap tidurku tiba-tiba ada suara yang memekakkan telingaku dan mengganggu tidurku. Suara itu tak terlalu asing bagiku. Sialan, umpatku dalam hati. Suara itu ternyata berasal dari ponsel bututku. Sebuah sms yang ternyata membuat ponsel itu meneriakkan sebuah nada dering. Dengan enggan aku membaca isi SMS itu. SMS dari seorang kawan ternyata.

"Bro, ntar malem ada ogoh-ogoh diarak. Tempatnya di Pura Jagatnata di daerah Sorowajan. Acaranya mulai sekitar jam 7an. Mau nonton gak?" Begitu isi sms dari kawanku.
"OK dech.Mau berangkat jam berapa?" balasku
Sebuah SMS balasan tak lama berselang muncul di layar ponsel bututku. "Aq gak nonton. Ada acara ama cowokku." Begitu isi sms balasannya.
"Ouw, yaudah. Aq ntar nonton ama temenku aja." Balasku lagi.

Kira-kira siapa ya yang mau aku ajak? Sejenak aq coba memilah-milah siapa kawan yang akan aku ajak. Akhirnya aku memutuskan untuk mengajak mantan Redpelku di buletin kampus yang sekarang menjadi redaktur foto. Sebuah SMS dengan nada ajakan pun ku kirim kepadanya.

"Yo, mangkat yo raden. Aq tunggu di xp." Jawabnya lewat sebuah SMS balasan. Kawanku yang satu ini memang selalu memanggilku dengan sapaan hangat "Raden". Ada sebuah sejarah unik yang membuatnya selalu memanggilku seperti itu.

Tepat saat jam menunjukkan pukul 19.00 WIB aq menjemput kawanku itu. Aq menjemputnya di tempat yang sudah aku anggap sebagai rumah keduaku. Sejak masuk kuliah awal, aku telah menghabiskan beribu-ribu jam dan berpuluh ribu menit di tempat itu. Di tempat itu pulalah aku mulai belajar tentang membaca dan menulis yang sesungguhnya. Tak lupa juga aq belajar cara nyontong yang meyakinkan ditempat itu.

Sambil menunggu kawanku bersiap. Aku pun menyapa beberapa kawan di rumah keduaku itu. Kamipun berangkat menuju Pura Jagatnata. Tak lupa dua buah kamera digital kami bawa untuk mengabadikan momen perayaan Nyepi.

Jam di ponselku menunjukkan pukul 19.15 WIB. Saat itulah kami tiba di ujung perempatan yang merupakan jalan menuju Pura Jagatnata. Seorang Polantas menyuruh kami berbalik dan mengambil rute lain. Ternyata ogoh-ogoh akan diarak melewati jalan itu. Terpaksa kami harus mengambil rute lain.

Setelah bertanya pada seorang panitia, akhirnya kami memutuskan untuk menunggu arak-arakan ogoh-ogoh lewat. Kemudian kami memarkir sepeda motor di depan rumah warga. Setelah memarkir motor, kami lalu berjalan menuju tempat start arak-arakan ogoh-ogoh.

Waktu itu dentang jam menunjuk angka 8 malam. Arak-arakan pun mulai diberangkatkan. Barisan pertama adalah orang-orang yang membawa obor. Disusul kemudian oleh barisan yang membawa alat musik tradisional bali. Baru kemudian rombongan ogoh-ogoh.

Ogoh-ogoh merupakan sebuah boneka besar yang berwujud raksasa menakutkan. Orang Jawa sering menyebutnya dengan nama buto. Pada rangkaian perayaan Nyepi, ogoh-ogoh dilambangkan sebagai sebuah perwujudan dari angkara murka yang ada di dunia.

Ada tiga ogoh-ogoh yang akan diarak dan dibakar di pura. Ukuran ketiga ogoh-ogoh pun berbeda. Ada yang kecil, menengah dan besar.

Ogoh-ogoh yang pertama berukuran kecil berwana ungu. Ogoh-ogoh ini berwujud raksasa yang memiliki taring panjang yang menyeringai. Kepala ogoh-ogoh ini tidak ada rambutnya. Ogoh-ogoh ini dihiasi lima buah anting-anting. Kelima anting-anting itu dipasang di telinga kanan, kiri, hidung dan kedua putingnya.

Ogoh-ogoh berukuran sedang berwarna hijau muda menyusul tepat dibelakangnya. Ogoh-ogoh ini juga berwujud raksasa yang memiliki taring panjang. Ogoh-ogoh ini memiliki rambut panjang dan gimbal. Selain itu sekujur tubuhnya juga dipenuhi dengan totol-totol berwarna hijau tua. Ogoh-ogoh ini juga memiliki kuku-kuku yang panjang.

Ogoh-ogoh terakhir berukuran paling besar. Ogoh-ogoh ini berwarna putih. Rambut kuku dan taring yang panjang juga dimiliki oleh ogoh-ogoh ini. Bedanya ogoh-ogoh ini mengenakan kain batik berwarna coklat tua.

Masing-masing ogoh-ogoh dipanggul oleh sekitar lima belasan pemuda Bali. Mereka mengenakan kain dan penutup kepala khas Bali. Sembari mengikuti irama musik tradisional Bali yang menghentak-hentak mereka memainkankan ogoh-ogoh dengan bersemangat.

Puluhan Mbok Jegeg juga tampak dalam arak-arakan. Mbok Jegeg-mbok jegeg ini mengenakan pakaian adat Bali. Puluhan mbok jegeg menjadi salah satu daya tarik tersendiri bagi para penonton.

Dengan perlahan dan seirama arak-arakan pun mulai berjalan. Ternyata di dalam rombongan pembawa obor ada yang menyembur-nyemburkan api (mirip di sirkus-sirkus).

Tiba-tiba gelombang awan mendung menutupi langit Jogja. Disusul kemudian oleh desiran angin. Suasana mistik namun sakral pun menyeruak perlahan.

"Kebudayaan Bali memang penuh dengan aroma mistik namun eksotik," ketikku di layar ponsel. Aku mengirim sms itu keseorang kawan dekatku.

Kamipun tak ingin melewatkan momen-momen itu dengan begitu saja. Dengan kamera digital SLR Canon EOS 400D dan kemera pocket digital Nikon kami mengabadikan momen-momen dalam arak-arakan ogoh-ogoh.

Arak-arakan terus merayap menuju satu tujuan. Pura Jagatnata. Ditempat itu arak-arakan akan berhenti dan melemparkan ogoh-ogoh ke dalam jilatan api.

Pukul 20.30 rombongan arak-arakan tiba di Pura Jgatnata. Di halaman Pura sudah tampak kobaran api besar yang siap menyantap ogoh-ogoh. Alunan musik etnik Bali pun semakin nyaring terdengar dan semakin cepat pula temponya. Para pemaggul ogoh-ogoh berteriak-teriak dan menari-nari layaknya orang yang sedang trance. Aroma dupa pun semakin menusuk hidungku. Lagi-lagi aura mistis muncul.

Satu persatu ogoh-ogoh dilemparkan ke dalam kobaran api. Aku tiba-tiba teringat pada upacara Ngaben. Sembari melempar ogoh-ogoh para pemuda Bali berteriak-teriak dengan lantang. Teriakan mereka menggelegar membahana dalam kesakralan malam itu.

Ogoh-ogoh pun lenyap perlahan-lahan ditelan kobaran api. Suara-suara bahagia membahana di sekitaran Pura. Para pemuda menari-nari mengitari kobaran api tempat ogoh-ogoh dibakar. Alunan musik Bali pun terdengar semakin keras dan cepat. Perasaan suka cita pun tampak jelas dari mimik muka mereka. Angkara murka di dunia telah hilang seiring ogoh-ogoh yang terbakar. Harapan baru pun muncul dalam benak mereka.

Semoga saja angkara murka dapat segera terusir dari bumi pertiwi ini. Bumi pertiwi sudah terlalu banyak dirusak oleh oknum-oknum bejat yang dikuasai oleh angkara murka dan nafsu binatang.


Selamat Hari Raya Nyepi Saka 1930
















Sunday, March 2, 2008

Download Buku

Mendiknas Bambang Sudibyo mengatakan buku pelajaran sudah bisa di-download melalui situs Departemen Pendidikan Nasional yakni www.sibi.or.id atau email pusbuk@sibi.or.id. Siapa saja bisa men-download menggandakan dan menerbitkan. Saat ini siap 37 teks buku pelajaran yang sudah dibeli dan kemudian akan diperbanyak lagi. Yang kemudian akan disusul oleh sekitar 250an teks buku pelajaran lainnya.
Kebijakan ini dibuat untuk menciptakan program buku murah. Masing-masing penerbit bebas untuk mendownload dan mencetak buku-buku itu. Tapi tentu saja harga jual buku download tidak boleh melebihi harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan oleh Depdiknas. Dan tak hanya penerbit saja yang bisa mendownload. Guru maupun peserta didik juga diperbolehkan untuk mendownload.
Hanya saja ada beberapa permasalahan yang sering kita lupakan. Kemampuan penguasaaan iptek yang berbeda antara peserta didik yang sekolah di kota dengan yang di desa menjadi kendala. Jangankan mendownload dari internet. Mengoperasikan komputer pun mungkin peserta didik yang di desa belum mampu. Alangkah tidak bijaksana jika Depdiknas mengeneralisasikan kemampuan peserta didik dalam hal penguasaan iptek.
Memang benar pemerintah telah membuat program internet masuk desa. Tetapi sayangnya pemerintah justru menjadi agen distribusi dari microsoft. Bayangkan saja betapa menghegemoni dan memonopolinya microsoft dalam hal iptek. Hampir semua komputer yang digunakan dalam program internet masuk desa menggunakan software microsoft. Itu indikasi betapa microsoft begitu memonopoli. Dan anehnya lagi pemerintah tidak sadar atau malah pemerintah sedang terkena fenomena "realitas menindas yang memukau". Padahal masih ada beberapa software seperti linux yang bisa saja digunakan sebagai alternatif.
Selain penguasaan iptek, penyalahgunaan hasil download juga menjadi permasalahan dari kebijakan ini. Ketentuan penerbit boleh mendownload kemudian menggandakan buku pelajaran justru dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Oknum itu akan menjual buku murah tetapi mengabaikan kualitas produk.
Dan lagi-lagi yang akan menjadi korban adalah pembeli yang notabene peserta didik maupun guru.
Sering bergantinya kurikulum yang dilakukan oleh Depdiknas juga dikhawatirkan akan membuat sia-sia buku hasil download. Karenanya buku pelajaran itu tidak akan bertahan lama. Tak ada gunanya buku murah jika kita harus rutin menggantinya.
Tapi apapun kebijakan pemerintah, tak ada salahnya disosialisasikan terlebih dahulu. Harapannya kebijakan itu bisa dikritisi oleh masyarakat. Sehingga ditemukan kebijakan yang paling pas dan cocok untuk masyarakat.