Tuesday, July 24, 2007

Mana di mana rasa kemanusiaan???

Dini hari tadi saya nongkrong bersama beberapa kawan kuliah saya. Saya nongkrong di angkringan tugu yang terkenal dengan kopi jossnya. Itu tuch kopi yang ada arangnya. Sembari meminum kopi joss saya pun menikmati pemandangan di sekitar angkringan ini. Ada beberapa pemandangan yang sempat menarik perhatian saya. Tapi pemandangan yang paling menarik adalah sesosok dara jelita yang sedang duduk bersama "anjing penjaga" nya atau boy's friendnya.
Lepas dari pemandangan itu saya juga menikmati perbincangan ringan yang sedang kami lakukan. Mulai dari masalah ospek dan makrab jurusan kami hingga guyonan ala kadarnya. Pokoknya semakin pagi semakin genit saja obrolan kami.
Sedang asyik-asyik ngobrol tiba-tiba terdengar suara jeritan wanita. Sejenak kemudian puluhan pasang mata kontan menatap ke arah asal suara. Ternyata ada sebuah motor yang menabrak trotoar. Kami pun acuh saja karena mengira pengendara motor itu sedang mabuk sehingga menabrak trotoar. Tak lama berselang berhamburanlah orang-orang menuju tempat jatuhnya motor itu. Saya dan kawan-kawan hanya sejenak menatap ke arah itu tanpa rela menarik pantat kami dari alas duduk. Karena kami mengira sudah banyak orang yang akan menolongnya. Apalagi ada belasan "pahlawan" yang menuju ke sana untuk mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila. Tepatnya mengenai tolong-menolong.
Tak berapa lama rombongan "pahlawan" pun kembali ke tempat mereka semula. Pikiran saya pun menganggap bahwa korban kecelakaan sudah ditolong oleh mereka. Saya pun kembali terhanyut oleh arus obrolan kami yang semakin tidak jelas kemana arah dan tujuannya.
Setengah jam kemudian salah seorang kawan saya minta ijin untuk buang air kecil. Sekembalinya dari buang air kecil kawan saya bercerita bahwa dia dimarahi oleh seorang pria. Dia dimarahi karena di dekatnya ada orang kecelakaan kok tidak ditolong. Tetapi pria itu mengucapkannya dalam Bahasa Jawa. Kawan saya tadi tidak terlalu fasih berbahasa Jawa. Maklum dia bukan orang asli Jogja. Tetapi dia bercerita bahwa samar-samar dia bisa menangkap perkataan pria tadi. Intinya si pria itu mempertanyakan di mana hati nurani kawan saya.Mendengar cerita itu saya dan seorang kawan saya yang lain langsung mencari pria itu. Dengan maksud meminta penjelasan maksud ucapannya.
Tak berapa lama saya bertemu dengan pria itu. Pria itu sedang bersama seorang lelaki tua yang sedang terduduk di trotoar. Mata saya sepintas memperhatikan lelaki tua itu. Lelaki tua itu tampak kosong pandangan matanya. Tiba-tiba si pria bertanya kepada kami. "Mas, ada orang kecelakaan di sini kok tidak ditolong? Di mana rasa kemanusiaan anda???" ucapnya. Saya dan kawan saya sangat kaget. Karena setahu saya tadi ada belasan "pahlawan" yang menolong korban. Kemudian saya pun menjawab " lha, tadi khan sudah banyak orang yang menolong." Pria itu dengan ketus menjawab, " orang-orang tadi hanya nonton doank! Gak ada satu pun yang menolong!"
Saya pun menjadi bingung. Ternyata para "pahlawan" tadi itu hanya penonton belaka. Dalam benak saya pun bertanya sudah sedemikian parahkan moral anak bangsa kita? Bangsa kita yang terkenal dengan budaya gotong royongnya dan rasa kemanusiaan yang tinggi ternyata kini sudah menjadi bangsa yang egois dan gemar berpangku tangan. Dan parahnya lagi kita juga mulai menjadi bangsa yang hanya bisa menonton sembari pergi meninggalkan tontonan jika dirasa sudah tak menarik lagi. Dalam benak saya masih terngiang ucapan pria tadi. "Di mana rasa kemanusiaan anda???" Rasanya sulit menjawabnya jika melihat realitas yang ada pada masyarakat kita di era ini.

Tuesday, April 24, 2007

R.A.Kartini

R.A.Kartini dilahirkan di Jepara 21 April 1879. Beliau hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S.(Europese Lagere School) atau setingkat sekolah dasar. Setelah rampung sekolah di E.L.S. kemudian dia dipingit oleh orang tuanya. Sebagaimana kebiasaan atau adat istiadat di daerahnya. Setelah dipingit biasanya kaum wanita pada dekade itu langsung memasuki fase pernikahan.
Sebenarnya R.A.Kartini menginginkan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Sebagaimana anak Bupati lain yang dapat bersekolah ke jenjang berikutnya. Tapi di era Kartini hanya anak laki-laki dari golongan ningrat saja yang bisa bersekolah. Selain tidak diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Wanita diera ini juga tidak diperbolehkan untuk menentukan jodoh/pasangan hidupnya sendiri. Tentu saja Kartini merasa tidak bebas dalam menentukan pilihan bahkan Kartini dapat dikatakan tidak punya pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita. Bahkan Kartini pun kerap mendapat perlakuan yang berbeda dengan saudara ataupun dengan teman-teman yang pria. Selain itu Kartini juga iri terhadap kebebasan yang dimiliki oleh wanita-wanita Belanda.
Setelah mendapat hambatan untuk mengicipi pendidikan yang lebih tinggi. Kartini pada masa dipingit banyak membaca buku seputar kemajuan/emansipasi wanita. Seperti buku Max Havelar karya Multatuli dan beberapa buku karya pejuang-pejuang wanita di Eropa. Selain menyibukkan diri dengan banyak membaca, Kartini pun juga banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar. Dari banyaknya buku yang dia baca, muncullah arus balik pemikiran Kartini. Kartini mulai merasa bahwa wanita pribumi sangat tertinggal bila dibandingkan dengan wanita Belanda.
Sejak saat itu muncul keinginan dan tekad Kartini untuk memajukan wanita pribumi. Kartini beranggapan bahwa untuk memajukan wanita pribumi bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan keinginan dan tekad itu, Kartini mendirikan sekolah untuk anak gadis pribumi di Jepara. Di sekolah yang didirikan Kartini, para anak gadis Pribumi diajarkan pelajaran memasak, menjahit, menyulam dan sebagainya. Sekolah yang didirikan Kartini tidak memungut biaya alias gratis. Coba bandingkan dengan sekolah pada era yang yang katanya modern ini. Betapa mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk dapat menikmati bangku sekolah.
Kembali ke Kartini lagi. Bahkan demi memajukan sekolahnya itu, Kartini sempat berencana melanjutkan sekolah ke Sekolah Guru di Belanda dengan maksud agar Kartini dapat lebih baik lagi dalam mendidik. Beasiswa dari pemerintah Belanda pun sudah dia peroleh. Tapi rencana itu ditentang oleh kedua orang tua Kartini. Untuk mencegah kepergian Kartini ke Belanda, orang tua Kartini pun menjodohkan dia dengan Raden Adipati Joyodiningrat seorang Bupati Rembang.
Setelah menikah dengan Bupati Rembang, Kartini pun diboyong ke Rembang. Di Rembang pun Kartini mendirikan sekolah disamping sekolah di Jepara yang telah dia dirikan sejak sebelum menikah.
Semasa hidupnya, Kartini sangatlah gemar berteman baik di dalam negeri maupun di luar negeri khususnya di Belanda yang notabene adalah kaum penjajah. Kepada teman-temannya di Belanda, Kartini banyak mencurahkan isi hatinya seputar keinginannya memajukan wanita pribumi. Selain itu dia juga sering mencurahkan isi hatinya tentang persamaan hak laki-laki dan perempuan.
Setelah Kartini meninggal pada 17 desember 1904, kumpulan surat-surat yang ditulisnya untuk teman-temannya di Belanda dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia Habis Gelap Terbitlah Terang. Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Tuesday, April 17, 2007

Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer dilahirkan di Blora tanggal 2 Februari 1925. Ayahnya ialah guru sedangkan ibunya adalah pedagang nasi. Pram sempat bersekolah di Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya dan bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama masa penjajahan Jepang.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948dan 1949. Pada 1950an ia sempat tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya. sekembalinya dari Belanda Pram bergabung dengan Lekra (organisasi budaya milik PKI).
Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunisnya. Buku karya Pram dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan , dan akhirnya di Pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada rezim Soekarno, selama rezim Soeharto Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa pernah melalui proses pengadilan.
Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat pemberontakan 30 September tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun.
Selama masa penahanan di Pulau Buru Pram sempat menulis beberapa buku antara lain tertalogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca) .
Pada tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 Pram berpulang ke hadapan Sang Illahi. Kemudian Pram dimakamkan di TPU Karet Bivak. Pram dikuburkan dengan diiringi lagu Internationale dan Darah Juang.

Wednesday, April 4, 2007

RM. Tirto Adhi Soeryo

Raden Mas Tirto Adhi Soeryo(Blora, 1880-1918) adalah seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia, dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Namanya sering disingkat T.A.S..
Tirto menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Priyayi
(1907) dan Putri Hindia (1908). Tirto juga mendirikan Sarikat Dagang Islam. Medan Prijaji dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya, percetakan, penerbitan dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Tirto adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Dia juga berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu. Akhirnya Tirto ditangkap dan disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan
, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara). Setelah selesai masa pembuangannya, Tirto kembali ke Batavia, dan meninggal dunia pada 17 Agustus 1918. Kisah perjuangan dan kehidupan Tirto diangkat olehPramoedya Ananta Toer dalam Tetralogi Buru dan Sang Pemula Pada 1973pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI no 85/TK/2006.