Friday, April 4, 2008

Lawu part II

Secercah sinar mentari menembus ke dalam tenda. Sinar itu tepat mengenai wajah saya. Saya pun menarik ke atas sleeping bag saya. Wajah saya cukup tertutupi. Namun saya tidak bisa tidur kembali. Sinar mentari menganggu tidur saya.

Saya kemudian meraba sebelah kanan saya. Mencari sebuah mobile phone. Setelah beberapa saat meraba, mobile phone pun saya temukan. Saya hidupkan mobile phone itu sambil berharap ada sinyal yang sudi mampir di mobile phone saya. Setelah menunggu beberapa saat, ternyata tetap saja seperti kemarin. Tidak ada sinyal!

Saya pun melihat jam di mobile phone saya. Pukul 07.00 WIB. Sudah cukup siang pikirku. Saya kemudian memutuskan untuk segera keluar dari sleeping bag. Cukup dingin juga ternyata. Walaupun tentu saja tidak sedingin semalam. Kawan saya masih lelap dalam tidurnya. Saya putuskan untuk membangunkannya.

Usai membangunkan kawan saya, saya pun keluar dari tenda. Suasana Lawu cukup cerah pagi itu. Udara terasa begitu segar. Berbeda dengan di Jogja. Kalau sudah jam 06.00 ke atas, langit Jogja sudah dipenuhi oleh asap-asap kendaraan bermotor. Sisa-sisa embun yang masih tersisa di ujung-ujung daun dan rerumputan semakin menambah segar pagi itu.

Kawan-kawan dari Tangerang ternyata sudah bangun lebih awal dari kami. Mereka memasak sarapan dan merebus air. "Dah bangun mas?mau kopi gak?" tanya Aka sambil mengacungkan segelas kopi ke arahku. "Ntar aja," balasku sambil tersenyum.

Tak berapa lama kawan saya menyusul ke luar tenda. Segera dia merebus air. Saya pun menghampirinya. Sebatang rokok saya nyalakan. Rokok pertamaku hari ini. Sambil merebus air dan merokok kami bercakap-cakap untuk merancang planning hari ini. Ternyata kawan saya tidak akan naik ke puncak. Badannya agak tidak enak. Akhirnya nanti hanya saya saja yang naik ke puncak. Dia hanya menunggu di basecamp.

Air yang direbus sudah matang. Kami membuat kopi. Cukup untuk menahan dingin. Tepat pukul 08.00 saya bersiap berangkat menuju puncak. Di punggung saya tergendong sebuah tas punggung berukuran medium. Setengah botol air mineral, tiga batang rokok, mantel, senter dan 3 helai roti tawar saya masukkan ke tas punggung.

Setelah berpamitan dengan kawan saya yang menunggu di pos tiga, saya segera saja memulai perjalanan. Saya berangkat bersama rombongan dari Tangerang. Ada empat orang yang berangkat bersama saya. Mereka begitu bersemangat. Berbeda dengan saya yang tidak sempat sarapan. Energi saya seakan hanya 50 persen saja. Tapi dalam benak saya, tersugesti bahwa siang hari puncak sudah harus berhasil saya capai. Baru setengah perjalanan dari pos tiga ke pos empat saya sudah kelelahan. Rasa capek semalam dan rasa lapar bersamaan saya rasakan.

Saya memutuskan beristirahat sejenak. Empat kawan dari Tangerang memutuskan berangkat meninggalkan saya. Saya hanya sempat berpesan,"kita ketemu di puncak". Kami sempat bersalaman sebelum berpisah.

Saya beristirahat sekitar sepuluh menitan. Bekal yang saya bawa sama sekali tak saya sentuh. Dalam hati saya berkata bahwa bekal baru boleh disentuh apabila saya sudah mencapai Sendang Derajat (pos lima). Sekitar satu setengah kilo perjalanan lagi yang harus saya tempuh sebelum mencapai Sendang Derajat. Saya menatap ke arah atas. Puncak masih tertutup sebuah bukit yang menjulang. Saya baru bisa melihat puncak bila sudah melewati bukit itu.

Diperistirahat saya, ada beberapa rombongan yang mendahului saya. Rombongan pertama dari kehutanan UGM. kedua dari Solo dan terakhir dari Semarang. Mereka sempat menyapa saya. Sebuah sapaan yang khas dari para pecinta alam terucap dari mulut mereka.

Cukup istirahatnya pikirku. Saya mulai berjalan lagi. Sendirian saja saya berjalan. Tak ada kawan bercakap. Baru kali ini saya merasakan betapa sepinya perjalanan saya menuju puncak. Saya mulai menapaki jalan berbatu setapak demi setapak. Jalan didepan saya tampak begitu menjulang angkuhnya. Kesepian di perjalanan membuat waktu terasa begitu lama. Satu persatu bayangan orang2 dekat saya mulai bermunculan. Keluarga, kawan seperjuangan, mantan cewek, hingga sosok gadis yang saat ini saya taksir silih berganti dalam memori saya.

Perjalanan sunyi masih saja saya rasakan. Rasa lapar dan capek mulai saya lupakan. Memori saya hanya di penuhi kesepian. Rasa kecewa dan menyesal pun sempat begitu menyeruak di benak saya. Menyesal dan kecewa pada seseorang yang tak kunjung juga memberi saya harapan.

Sialan!Sialan!Sialan!

Begitu pikir jika saya mengingat sosok itu. Saya coba lagi memantapkan niat saya untuk mencapai puncak. Setelah berjalan dalam kesepian selama satu setengah jam akhirnya saya sampai juga di Sendang Derajat. Disana beberapa kawan menyambut saya dengan antusias.

Saya beristirahat sejenak di Sendang derajat. Beberapa kawan yang mendahului saya ternyata juga beristirahat di sini. Ada beberapa tenda yang masih berdiri. Cukup ramai juga suasana di sini. Kesepian seakan sirna dalam benak saya.

Pos lima ini dinamakan Sendang Derajat karena memang ada sebuah sendang di dekat pos ini. Sendang kecil namun berair jernih. Saya sempat mencicipi air Sendang ini. Cukup segar juga airnya.

Sebatang rokok saya nyalakan sambil mengobrol dengan kawan-kawan baru saya. Tepat seperti janji saya ketika akan berangkat tadi. Setelah cukup beristirahat saya lanjutkan perjalanan. Puncak sudah dekat. Jalanannya pun tidak terlalu terjal lagi. Hanya ada satu tanjakan yang harus dilewati.

Kali ini saya tidak berangkat sendiri. Saya bersama kawan-kawan dari kehutanan UGM. Ketiga kawan saya ini naek ke lawu dalam rangka penelitian vegetasi di Lawu.

Tepat pukul 10.30 WIB saya berhasil mencium sebuah tugu. Sebuah tugu yang terbuat dari campuran semen, pasir dan kerikil. Sebuah tugu yang hanya berbentuk persegi panjang yang berdiri. Sebuah tugu yang bertuliskan Lawu 3225 mdpl. Sebuah tugu yang bertinggi sekitar 150an cm. Tugu itu selalu diharap oleh para pendaki gunung Lawu.

Begitu mencium tugu penanda puncak lawu, semua dendam saya pada Lawu terhapuskan. Bayang-bayang badai, angin kencang, hujan lebat, kabut, hawa dingin, rasa lelah dan putus asa sirna begitu saja. Sosok gadis yang masih saya tunggu hingga saat ini pun lenyap begitu saja. Hanya rasa syukur dan lega yang saya rasakan saat itu.

Sebatang rokok saya nyalakan untuk menuntaskan janji saya. Rokok kedua yang saya punya. Saya hisap rokok itu dalam-dalam. Dari puncak tampak begitu jelas pemandangan daerah Jawa Tengah. Sebuah lukisan pemandangan yang begitu sempurna. Saya pun mencoba duduk di atas tugu puncak lawu. Agak lama saya duduk di situ.

Rokok yang saya hisap sudah habis. Saya lalu menyalakan sebatang rokok lagi. Rokok terakhir yang saya punya. Cukup lama saya berada di puncak lawu. kawan-kawan dari UGM masih sibuk dengan penelitiannya.

Mobilephone saya keluarkan dari tas ransel saya. Saya mencoba memastikan apakah ada sinyal di sini. Namun tetap saja sinyakl tank kunjung hadir di mobilephone saya. jam di mobilephone menunjukkan pukul 12.45 WIB. Saya putuskan untuk turun. Kawan-kawan dari UGM masih saja sibuk dengan penelitiannya. Saya putuskan untuk turun sendirian. Setelah berpamitan saya pun melangkahkan kaki menuruni Lawu.

Lagi-lagi saya berjalan sendirian. Perjalanan memang sudah tidak seberat saat ingin menuju puncak. Di perjalanan ini saya melangkahkan kaki dengan santai. Sesekali saya bertemu dengan pendaki yang sedang beristirahat. Beberapa kali pula saya berpapasan dengan para pendaki yang sedang menuju puncak. Namun perjalanan saya turun lebih banyak bertenu dengan rasa sepi. Kembali lagi pikiran saya tak karuan. Beberapa memori dalam otak seakan muncul dan berlarian begitu saja. Sesosok gadis yang saya nanti lagi-lagi begitu mendominasi memori saya.

Sunyi masih saja menemani saya. Kadang sunyi memang kawan yang baik. Namun kadang pula sunyi begitu menyebalkan dan membosankan. Tepat pukul 14.15 saya mencapai pos tiga. Kawan saya menyambut dengan antusias. "Gimana puncak?" tanyanya sambil menghisap rokok. "Baik," jawabku.

Saya pun merebahkan diri di dalam tenda. Sebatang rokok kembali saya nyalakan. "Uh,rokok terakhirku hari ini," kataku dalam hati. Kawan saya sedang sibuk menyiapkan makan. Entah itu makan siang ato sarapan. Semenjak tadi pagi saya memang belum sarapan. Bekal yang dimasak adalah bekal terakhir hari ini. Hanya dua bungkus mie goreng dan secangkir teh.

Mendung mulai menggelayut di langit. Angin pun berhembus semakin kencang. Tanda hujan akan turun semakin menguat. Kami pun memutuskan untuk segera packing dan turun ke basecamp.

Packing selesai tepat pukul 16.00 WIB. Kami pun segera melangkahkan kaki menuruni lawu. Kali ini perjalanan tak terlalu sepi lagi. Ada kawan mengobrol. Sebuah tas ransel yang bermuatan sekitar 18 kg kembali saya bawa. Gerimis mulai turun.

Kami masih saja melangkah. Ada satu kesamaan di antara kami. Dalam perjalanan ini kami begitu kangen pada Jogja. Kangen pada sesosok gadis pujaan kami masing-masing. Hanya satu perbedaan. Jika kawan saya sudah jelas ada yang menunggu untuk bertemu di Jogja, saya tidak. Rasa kangen yang sia-sia.

Gerimis perlahan menjadi deras. Sesekali angin kencang berhembus. Langit pun semakin gelap. Padahal baru pukul 17.30 WIB. Kami memutuskan untuk menyalakan senter. Tepat pukul 18.20 WIB kami tiba di basecamp. Beberapa kawan sudah menyambut di sana. Dua gelas kopi hangat mereka sodorkan untuk kami. Tak lupa pula camilan ala kadarnya. Saya memutuskan untukl duduk di pojokan basecamp. Sambil sesekali menyeruput kopi hangat kami pun mengobrol.

Saya coba hidupkan lagi mobilephone saya. Masih saja tak ada sinyal. Setelah cukup melepas lelah, kami memutuskan segera kembali ke Jogja. sebenarnya kami ingin menginap lagi semalam di basecamp. Namun bekal yang habis dan persedian uang yang minim memaksa kami segera pulang. Uang yang ada di kantong kami tinggal 5000 rupiah saja. Hanya cukup untuk beli bensin pulang. Itu pun masih kurang.

Adzan Isya sayup-sayup terdengar dari pemukiman warga terdekat. Sekitar dua kilometer dari basecamp. tepat pukul 19.20 kami berangkat menuju Jogja. Setelah berpamitan dengan kawan-kawan yang ada di basecamp kami pun berangkat. Kali ini kawan saya kembali yang mengemudi. Masih dengan perjanjian yang sama ketika kami berangkat dari Jogja. begitu tiba di kota, kami akan bertukar posisi. Sekitar dua kiloan perjalanan, saya kembali menghidupkan mobilephone. kali ini sudah ada sinyal. Saya pun mengirimkan sebuah pesan ke beberapa kawan. Saya kabarkan kondisi saya saat ini, dan juga kabar bahwa puncak sudah berhasil saya rengkuh.

Tentu saja tak lupa saya mengirimkan sebuah pesan kepada gadis yang saya nanti. Walaupun saya tau belum tentu dia akan membalasnya. Pesan pendek itu berisi " aq dah nyampe puncak dengan selamat. Sekarang lagi perjalanan pulang ke jogja.

Perjalanan begitu tenang. Masing-masing dari kami sama-sama kelelahan. Motor pun dipacu sekencang-kencangnya dengan harapan segera tiba di Jogja.

Pukul 21.30 kami tiba di Jogja. Tepat ketika kami tiba di Jogja sebuah pesan pendek masuk ke mobilephoneku. "o, yaudh kl dah nyampe puncak dengan selamat. Hati-hati di jalan mas. Ntr lgsng istirahat aja mas." begitu isi pesannya. Sebuah pesan balasan dari gadis yang kunanti.

Saya pun membalas pesan itu. "ini baru aja nyampe rumah. Iya ini jg mau istrht."